Berita 18 anak Masohi, anak Jakarta Timur dan Bali korban kekerasan guru di TVOne pada hari Sabtu 13 Desember 2008 seolah menggenapkan hasil refleksi pendidikan yang dilaksanakan tadi pagi di EEP Bandung. Forum OK! Desember 2008 ini tidak seperti biasanya. Ova menyiapkan pelaksanaan kegiatan sebelum Tour d' Java dengan LovelyKerLiP.
Hadirnya teman-teman lama dari jaringan KPKB memberi makna tersendiri. Obrolan kali ini sarat dengan muatan pembelajaran dari kegiatan pendampingan yang dilaksanakan sampai tahun 2008. Saya memulai dengan menyampaikan resume refleksi pendidikan pada peringatan HAM 2008 yang sudah diposting sebelumnya. Prinsip kepentingan terbaik anak diyakini KerLiP sebagai arusutama gerakan sosial kritis berbasis keluarga yang dapat mempertemukan kepentingan guru, orangtua, anak, sekolah bahkan pemerintah dan pemerintah daerah. Namun prinsip ini rupanya masih dipertanyakan Bu Ar yang berpengalaman sebagai bendahara Komite Sekolah SMAN I. Kegelisahannya tentang transparansi dan akuntabilitas sekolah menjadi fokus gerakan Bu Ar yang pernah menjadi guru Bimbingan Konseling di sekolah swasta ini. Bagi Bu Ar, guru di Bandung sudah cukup mendapatkan kesejahteraan. Selama ini 80% APBS masuk untuk guru meskipun Bu Ar mengakui bahwa bagian terbesar diberikan kepada sang manajer yakni Kepala Sekolah. Ketika disebuktan perbandingan dengan Jakarta Bu Ar bersikukuh jika hal ini tidak benar. Bu Ar mencoba meyakinkan teman-teman untuk kembali merumuskan pendidikan asli Indonesia. Yang seperti apa ya?
Pernyataan Bu Ar terkait dengan kesejahteraan guru dibantah oleh Dr. Asep Tapip. guru SMKN 15 Bandung, Ketua Dewan Pembina LP2M, pengurus FAGI dan FGII. Pak Sandi, Litbang Perguruan Darul Hikmah, Sekretaris KerLiP, pun mengamininya. Menurut Pak Asep. refleksi tahun 2008 ini bermuara pada kemerosotan profesionalitas guru akibat rendahnya tingkat kesejahteraan guru dan spesialisasi yang mendorong guru hanya transfer ilmu bukan mendidik, manajemen pendidikan yang tidak strategis dan tidak holistik serta keberpihakan yang sangat rendah terhadap kepentingan terbaik anak dalam mewujudkan pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Bu Nenden dari KPKB melengkapi Bu Ar dan Pak Asep dengan persoalan PSB. Advokasi PSB yang selalu dilaksanakannya sampai di lapangan menunjukkan bahwa penyelenggaraan sekolah di Bandung jauh dari aturan perundang-undangan. Kasus titipan DSP di salah satu SMP yang kemudian dijanjikan akan dikembalikan 25% menjadi bukti masih adanya pungutan pada pendidikan dasar. Padahal PP 48 tahun 2008 melarangnya. Diperlukan kontrol masyarakat terutama para penggiat pendidikan di KPKB agar mayoritas masyarakat kita sadar tentang haknya sebagai warga negara. Pak Indra yang baru bergabung dengan KerLiP 2 minggu mengaku apatis dengan sistem persekolahan. keluarganya memilih homeschooling karena tidak ingin menempatkan anak dalam carut marut permasalahan di sekolah. Pernyataan ini saya perkuat dengan tersedianya pilihan pendidikan formal, non formal dan informal, keluarga dapat memilih yang terbaik bagi anak-anak mereka.
Pak Sandi mengomentari refleksi Bu Ar dkk. Pengalamannya ketika memasukkan anak sulungnya ke SD Negeri menunjukkan betapa sulitnya melakukan advokasi jika dilaksanakan sendiri. Pak Sandi dan istri memilih untuk tetap membayar dan pelan-pelan mengajak keluarga lainnya untuk berpartisipasi dalam pengawasan APBS. Sosialisasi UU Perlindungan Anak tidak masuk ke beberapa SD yang diteliti Pak Sandi.
Banyaknya kekerasan guru terhadap anak di SD ini diyakini karena ketidakpahaman guru tentang tanggung jawabnya dalam memberikan perlindungan terhadap hak anak. Secara pribadi Pak Sandi melihat gerakan advokasi pendidikan belum menyentuh permasalahan inti yang dapat membuka ruang bagi semua pihak untuk mengembangkan model pendidikan dan manajemennya dengan mengedepankan prinsip kepentingan terbaik anak. Rekrutmen CPNS di akhir tahun juga menjadi perhatian Pak Sandi. Diusulkan untuk membangun gerakan advokasi kebijakan yang lebih holistik dan menyentuh pada inti permasalahan.Listya mengungkapkan refleksi gerakan siswa bersatu yang didorong dengan permasalahan Ujian Nasional. Hal ini dikomentari Bu Ar dan saya. Sebagai salah satu penggugat kebijakan Ujian Nasional yang terbukti dalam pengadilan telah melalaikan perlindungan hak anak dan hak atas pendidikan, komentar Bu Ar bahwa siswa tidak perlu takut dites jadi tidak relevan. Yang sedang kita tegakkan adalah amanat konstitusi.
Refleksi Pak Dedi melengkapi obrolan KerLiP di akhir tahun 2008 ini dengan keyakinan bahwa pendampingan terhadap masyarakat yang menjadi korban tetap menjadi komitmen kita semua untuk memperbaiki pendidikan. Pelanggaran terbesar dalam pendidikan menurut Pak Dedi adalah tidak maksimalnya penyelamatan dan proses pembiaran yang menyebabkan anak-anak tidak berubah kearah yang lebih baik setelah menjalani pendidikan 12 tahun bahkan lebih. Pak Dedi masih melihat adanya celah untuk perubahan dengan membangun kesadaran kritis di kelompok masyarakat marjinal yang selalu menjadi korban kebijakan yang salah.
Menurut pendapat saya, demokratisasi pendidikan bisa berjalan jika pembagian kekuasaan/wewenang antara stakeholder pendidikan terutama di setiap satuan pendidikan berjalan seimbang. Guru melalui penguatan rapat dewan pendidik yang berwenang menyetujui RAPBS dan laporan APBS, orangtua dan masyarakat melalui komite sekolah, partisipasi anak dan manajemen sekolah yang terus menjaga transparansi dan akuntabilitas demi kepentingan terbaik anak. Jaminan tersedianya pilihan seperti homeschooling dan pendidikan alternatif lainnya juga menjadi penting untuk menjamin pemenuhan hak anak atas pendidikan.
Zamzam menutup obrolan KerLiP dengan mengutip pendapat Pak Indra agarsemua pihak memelihara niat baik untuk memperbaiki pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar