Meskipun memiliki IQ antara 90 dan 110 dan kecerdasan di atas rata-rata anak-anak normal, anak-anak disleksia memiliki kesulitan belajar seperti membaca, mengeja, menulis, dan menghitung. Namun, ada cara belajar yang asyik yang bisa diterapkan oleh guru-guru pengajar anak-anak disleksia.
Belajar membaca merupakan pelajaran yang sulit dilakukan anak-anak disleksia. Hal itu karena membaca merupakan kegiatan yang melibatkan kemampuan visual-auditori mereka secara bersamaan, seperti kemampuan memberikan makna simbol-simbol yang ada, yaitu huruf dan kata.
Memang, secara karakteristik, anak disleksia kerap bingung membedakan antara arah kanan dan kiri sehingga hal itu akan memengaruhi mereka membedakan huruf yang terlihat mirip seperti p, q, b, d. Mereka juga kerap merasakan terbolik-balik melihat huruf yang bentuknya mirip seperti 12 menjadi 21 atau kata “kaki” menjadi “kika”.
Pada usia dini, anak-anak disleksia tersebut kesulitan belajar sistem representasionalnya, seperti menyebutkan waktu, arah, dan musim. Untuk menangani hal ini, biasanya satu kelas cukup hanya diisi oleh 10 murid dan ditangani dua guru. Tugas belajar yang diberikan juga tidak sama. Hal itu sangat tergantung pada kemampuan anak serta kebutuhan terhadap cara belajar yang selalu kreatif dan penuh modifikasi.
Metode penanganan
Ada tiga model strategi pembelajaran yang bisa diterapkan terhadap anak-anak disleksia. Ketiga model tersebut antara lain Metode Multisensori, Metode Fonik (Bunyi), dan Metode Linguistik.
metode Multisensori mendayagunakan kemampuan visual (kemampuan penglihatan), auditori (kemampuan pendengaran), kinestetik (kesadaran pada gerak), serta taktil (perabaan) pada anak. Sementara itu, Metode Fonik atau Bunyi memanfaatkan kemampuan auditori dan visual anak dengan cara menamai huruf sesuai dengan bunyinya. Misalnya, huruf B dibunyikan eb, huruf C dibunyikan dengan ec. Adapun Metode Linguistik, adalah mengajarkan anak mengenal kata secara utuh. Cara ini menekankan pada kata-kata yang bermiripan. Penekanan ini diharapkan dapat membuat anak mampu menyimpulkan sendiri pola hubungan antara huruf dan bunyinya.
Setelah 2-3 bulan melakukan berbagai treatment dan masih belum mendapatkan perubahan yang bagus, si anak bisa dibawa ke dalam kelas khusus anak disleksia. Hanya, si anak sebaiknya dicek terlebih dahulu.
Dua belas model tersebut diatas hanya beberapa contoh dari praktek baik pendidikan ramah anak yang sudah dikembangkan, tentunya masih banyak model yang dikembangkan terutama yang dikembangkan atas prakarsa lokal. Meskipun model-model sekolah tersebut memiliki fokus yang berbeda, ada yang di kesehatan, lingkungan hidup, lingkungan yang inklusif, pengurangan resiko bencana, dan sebagainya, tetapi secara keseluruhan model-model sekolah tersebut selaras dengan upaya pemenuhan hak pendidikan anak dengan mengacu pada prinsip perlindungan anak.
Gambaran model sekolah diatas lebih banyak diselenggarakan pada jalur pendidikan formal. Pada jalur pendidikan non-formal dan informal tentunya lebih banyak lagi, seperti sekolah qaryah thayyibah yang dikembangkan oleh Bahrudin dan kawan kawan di salatiga, komunitas sekolah rumah, komunitas pinggir kali, dll. Pada prinsipnya model-model tersebut mencoba mengakomodir kepentingan terbaik anak dan prinsip-prinsip perlindungan anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar