Membaca kembali tulisan Irsyad yang berjudul Menghadirkan Keluarga ke Ruang Publik : Studi Awal tentang Homeschooling KerLiP menyegarkan ingatan saya tentang semangat gerakan KerLiP ketika homeschooling mulai diperbincangkan berbagai media pada tahun 2007. Irsyad menyatakan bahwa, “jika kita kembalikan penjelasan Habermas tentang ruang publik tersebut pada konsep Giroux tentang posisi guru sebagai intelektual transformatif, maka dapat diperoleh suatu landasan teoretis untuk menghubungkan fenomena sekolah rumah dengan ruang publik dalam konteks sosio-historis khusus yang menjadi fokus makalah ini, yaitu konteks pendidikan pada era setelah kejatuhan Orde Baru. Landasan teoretis tersebut dirumuskan Irsyad dalam beberapa proposisi: (1) sekolah rumah merupakan upaya pembentukan ruang publik dalam arena pendidikan; (2) upaya tersebut dilakukan oleh para orang tua murid dari kalangan kelas menengah kota; (3) upaya tersebut muncul sebagai konsekuensi dari ketidakseimbangan struktural antara orang tua sebagai bagian dari ruang privat, di satu pihak, dan sekolah sebagai aparatus/institusi negara, di lain pihak, berkenaan dengan hubungan anak dan pendidikan; (4) upaya tersebut juga muncul sebagai konsekuensi dari terkikisnya posisi guru sebagai intelektual transformatif sehingga ruang publik itu sendiri tidak bisa terwujud di sekolah.
Kekhasan gerakan keluarga peduli pendidikan yang diusung KerLiP ini menempatkan homeschooling KerLiP tidak hanya dalam mendorong perluasan akses pendidikan berkualitas dan bebas biaya, tetapi juga menumbuhkan harapan baru munculnya keluarga-keluarga peduli pendidikan yang memiliki kesadaran berwarganegara. Kekhawatiran berbagai kalangan tentang rendahnya sosialisasi anak-anak homeschooling mendorong KerLiP untuk mengembangkan model-model berkomunitas yang mengedepankan kearifan lokal di tingkat keluarga sebagai pengikat. KerLiP pun memperkuat akuntabilitas penyelenggara homeschooling dalam bentuk Komunitas Belajar Mandiri/Komunitas Homeschooling sebagai model pendidikan kesetaraan.
KerLiP bergabung dalam ASAH PENA sdalam upaya mendorong wacana gerakan homeschooling khas Indonesia yang tetap menempatkan kewajiban negara dalam membiayai pendidikan teruatama di tingkat dasar. Setelah beberapa bulan bersama ASAH PENA, KerLiP bersama komunitas Pelangi dkk menggagas HIPSKI untuk mendorong penguatan komitmen pemerintah dalam menyediakan anggaran yang memadai di semua jalur pendidikan. Beberapa komunitas belajar mandiri/homeschooling mulai mendapatkan bantuan dana rintisan Kobama mulai tahun 2007.
Di Pacitan misalnya, Rumah KerLiP mendampingi Kopa Indonesia dalam memfasilitasi anak-anak, orangtua dan komunitas belajar mandiri di 5 desa untuk mengembangkan pertanian berkelanjutan berdasarkan praktek-praktek terbaik yang dipromosikan dalam musyawarah pembangunan desa oleh beberapa keluarga terpilih yang terbukti mampu meminimalkan penggunaan zat anorganik dalam bertani. Komunitas Belajar Mandiri di Pacitan dibangun atas kesadaran anak-anak yang mengorganisasikan diri untuk meningkatkan efektivitas partisipasi anak dalam pembangunan desa. Organisasi-organisasi anak di tingkat desa ini kemudian merintis dan mengembangkan model pendidikan berbasis keluarga dalam dampingan Litbang KerLiP dan Kopa Indonesia. Komunitas yang sedang tumbuh kembang mandiri di Desa Sidomulyo dan Kalikuning menjadi tempat kajian model bahan ajar homeschooling bagi keluarga petani penggarap yang dilaksanakan oleh Pusat Kurikulum Balitbang Diknas. Model bahan ajar pertanian berkelanjutan yang disusun, diimplementasikan, dievaluasi dan dilaporkan fasilitator konmunitas belajar mandiri ini berdasarkan model Cara Asyik Cari Tahu (CACT) dan Lembar Inspirasi Bagi ragam Anak (LIBRA) yang dikembangkan oleh Tim Litbang KerLiP bersama beberapa keluarga penyelenggara homeschooling mandiri di Jakarta, Bogor, Bekasi, dan Bandung.
Pekerjaan orangtua di Kalikuning dan Sidomulyo dalam konteks Pertanian Berkelanjutan didukung fasilitator yang berlatar belakang sekolah pertanian menempatkan orangtua/keluarga sebagai pendidik utama yang dihormati oleh anak-anak mereka. Ini memberikan ruang yang lebih leluasa bagi perkembangan anak-anak yang sudah memiliki kesadaran tentang pentingnya partisipasi anak dalam pembangunan desa. Dialog saling belajar pun berjalan intensif tanpa menghiraukan ketidakmampuan orangtua dalam berbahasa Indonesia. Bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar dalam setiap keluarga menumbuhkan semangat transformasi nilai-nilai budaya yang luhur. Pada gilirannya setiap keluarga berbagi pengalaman dan pengetahuan untuk mendidik anak-anak mereka dengan kearifan lokal dalam konteks pembangunan desa melalui Pertanian Berkelanjutan.
Masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa keberhasilan Rumah KerLiP bersama Kopa Indonesia ini dapat menjadi model pengembangan komunitas belajar mandiri yang menempatkan orangtua dan keluarga sebagai pendidik utama dengan tetap menjaga semangat kekeluargaan dalam membangun desa sebagai wujud kesadaran berwarga negara. Komunitas belajar mandiri ini mendapatkan rekomendasi Dinas Pendidikan Kabupaten Pacitan dan Provinsi Jawa Timur bersama Komunitas Belajar Mandiri di Ponorogo dan mendapatkan dana rintisan Kobama/Homeschooling sebagai model pendidikan kesetaraan pada tahun 2008. Ini tidak terlepas dari upaya advokasi dari berbagai pihak yang berkepentingan untuk mendorong menguatnya komitmen pemerintah dalam menyediakan anggaran pendidikan termasuk untuk komunitas belajar mandiri/homeschooling.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar