Melalui konsep “anak merdeka” itu, pada dasarnya KerLiP sedang membangun representasi yang lain tentang anak yang berkontestasi dengan representasi dominan yang menguasai wilayah publik (sekolah) yang mengusung konsep anak “cerdas” dan “kompetitif”. Namun, di sisi lain, konsep “anak merdeka” juga ternyata membawa konsekuensi yang lain di wilayah privat (rumah/keluarga), yaitu implikasi perubahan dalam representasi tentang ibu dan relasi kuasa di dalam keluarga yang pada gilirannya mempersiapkan ruang (space) bagi tumbuhnya wacana keluarga yang baru yang terlibat aktif di wilayah publik melalui arena pendidikan.
Selama ini wacana dominan pendidikan telah meminggirkan orang tua dari lembaga sekolah. Orang tua atau lembaga keluarga dipandang sebagai bagian dari ruang privat yang tidak cocok dengan tuntutan sekolah sebagai bagian dari ruang publik. Pemisahan itu tentu terkait erat dengan dominasi wacana patriarkis-kapitalistik yang juga beroperasi dalam dunia pendidikan. Pemisahan tersebut, misalnya, dapat dipahami melalui teori proses kerja mengajar (labour process theory of teaching). Menurut Smyth dkk. (2000, 24-25), teori ini melihat kerja mengajar sebagai suatu proses produksi yang bertujuan untuk mengolah bahan mentah, yakni murid beserta modal kulturalnya, untuk menjadi produk/komoditas dalam wujud angkatan kerja dan warga negara. Untuk itu, diperlukan instrumen produksi (yakni kurikulum, fasilitas pengajaran, dan sebagainya) dan pekerja (yakni guru) yang, dalam kasus sekolah publik, keduanya dimiliki oleh negara. Murid yang telah menjadi produk/komoditas itu kemudian “dibeli” oleh dua kelompok pembeli potensial, yakni para kapitalis dan negara. Sebagai pembeli potensial, kedua kelompok ini dengan sendirinya memiliki kepentingan untuk mempengaruhi proses produksi sebelum produk dihasilkan agar memperoleh keuntungan yang semaksimal mungkin. Oleh karena itu, proses pendidikan di sekolah merupakan proses politik karena berbagai pihak yang berkepentingan bersaing dalam proses produksi. Pihak yang dominan akan berupaya mengendalikan proses produksi secara terus-menerus (reproduktif) demi kepentingannya. Dalam proses ini, keluarga/orang tua diperlakukan hanya sebagai konsumen yang pasif oleh pasar, di satu sisi, dan sebagai warga yang partisipasinya dibatasi oleh negara, di sisi lain.
Di masa Orde Baru, misalnya, ketika wacana keamanan menjadi dominan, partisipasi orang tua dalam penentuan kebijakan pendidikan dan proses pembelajaran di sekolah sangat dibatasi. Keluarga disingkirkan secara sistematis dari ruang publik. Kita bisa melihat penyingkiran ini, misalnya, melalui buku ajar yang digunakan di sekolah yang merepresentasikan keluarga Budi dalam kenyamanan dan stabilitas ruang privat (Shiraishi 2001, 208-213). Meskipun dalam perkembangan di tahun ‘90-an terdapat perubahan nama tokohnya, yaitu Budi diganti dengan Kiki atau nama perempuan yang lain—karena adanya kesadaran di dunia pendidikan saat itu untuk memperhatikan kesetaraan jender—namun, menurut Shiraishi (2001, 212) “penggantian tersebut pengaruhnya kecil terhadap sintaksis keluarga yang diperkenalkan kepada para murid.”
Akan tetapi, perkembangan di masa Reformasi memperlihatkan bahwa proses komodifikasi pendidikan mulai mendominasi. Rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia telah mendorong banyak kalangan untuk melancarkan kritik terhadap merosotnya mutu pendidikan di sekolah-sekolah kita. Meskipun persoalan mutu ini sangat terkait dengan buruknya kondisi kerja guru yang berujung pada proses deskilling kerja guru, seperti diuraikan pada bagian terdahulu, pemerintah ternyata lebih memilih untuk mengikuti logika komodifikasi untuk mengatasi persoalan tersebut, yaitu dengan mendorong kebijakan standardisasi pendidikan, sertifikasi guru, dan ujian nasional. Dalam situasi seperti ini, muncullah sekolah-sekolah swasta yang menawarkan berbagai jaminan keunggulan yang disesuaikan dengan tuntutan wacana globalisasi. Dengan demikian, sekolah sebagai lembaga publik perlahan-lahan masuk ke dalam proses privatisasi dalam skema ekonomi neoliberal. Skema ini meletakkan orang tua/keluarga dalam posisi yang ambivalen, yaitu diakui partisipasinya untuk mendorong akuntabiltas penyelenggaraan sekolah, namun dikonstruksi pula sebagai konsumen yang patuh atau pasif. Dengan kata lain, partisipasi keluarga hanya diakui sejauh untuk mendukung dan mempertahankan proses pembentukan identitas konsumen yang pasif itu. Orang tua didorong untuk menggunakan “pilihan bebas pribadi”-nya terhadap sekolah yang bermutu untuk anak-anak mereka dan karena itu mereka bersedia membayar lebih mahal. Di sini orang tua seolah-olah diposisikan sebagai subyek pendidikan melalui pengakuan atas pilihan bebas dan partisipasinya. Tetapi, yang disingkirkan dari wacana privatisasi dan manajerialisme ini adalah posisi sekolah sebagai ruang publik.
Dalam relasi pasar, negara, dan keluarga di arena pendidikan itulah sekolah rumah KerLiP membangun strategi wacananya tentang “keluarga peduli”. Menurut Yanti, konsep ini berarti bahwa “dalam kondisi terlemahpun keluarga harus tetap mengutamakan terpenuhinya hak atas pendidikan sebagai dasar bagi terpenuhinya hak asasi manusia.” Karena itu, lanjutnya, “gerakan masyarakat sipil terutama di pendidikan bertumpu pada kepedulian keluarga untuk memastikan hak atas pendidikan dipenuhi oleh pihak yang berkewajiban untuk menghormati, memenuhi, dan melindungi hak warga negara yang paling pokok tersebut.” Karena itu, sekolah rumah KerLiP melawan kecenderungan komodifikasi sekolah rumah, di satu sisi, dan mendesak negara menjalankan kewajiban publiknya untuk menjamin pendidikan yang bermutu bagi warganya, di sisi lain. Jadi, dapat dikatakan di sini bahwa dengan konsep “keluarga peduli”, sekolah rumah dibangun oleh KerLiP untuk memperkuat posisi lembaga keluarga terhadap tarikan pasar dan tekanan negara di arena pendidikan.
Dalam strategi tersebut, KerLiP kemudian harus pula menghadapi problem jender karena dalam prakteknya sekolah rumah memposisikan ibu sebagai “guru”. Dalam konteks ini, muncullah persoalan yang pelik: sejauh mana peran baru ibu sebagai “guru” tidak malah jatuh ke dalam beban ganda, tetapi justru memperkuat posisi tawar perempuan (istri) dalam relasinya dengan laki-laki (suami) untuk pada gilirannya memperkuat posisi keluarga dalam relasinya dengan negara dan pasar di arena pendidikan? Selagi pendidikan dasar saat ini merupakan tanggung jawab pemerintah dalam program wajib belajar 9 tahun, pemerintah tetap bertanggung jawab terhadap pembiayaan sekolah rumah sebagai bagian dari sekolah non-formal, namun sejauh mana para pelaku sekolah rumah itu dapat mengakses segala fasilitas dan sumber pendidikan yang bermutu yang disediakan sebagai bagian dari pelayanan publik?
Persoalan-persoalan ini belum dapat dijawab dalam studi awal ini. Meskipun demikian, kesadaran bahwa sekolah rumah itu terkait erat dengan persoalan jender memang sudah sejak awal menjadi pertimbangan penting bagi KerLiP. Yanti mengemukakan bahwa dalam konteks gerakan perempuan di Indonesia KerLiP mengedepankan pentingnya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan di dalam keluarga dan masyarakat demi kepentingan terbaik anak dan perempuan itu sendiri. “Keadilan sosial bisa ditegakkan jika perempuan setara dengan laki-laki baik di wilayah domestik maupun publik,” ujarnya.
Terkait dengan persoalan jender itu, satu hal yang bisa saya kemukakan di sini adalah tentang kemugkinan sekolah rumah KerLiP untuk dapat menjadi ruang berlangsungnya proses reskilling bagi perempuan yang menjadi ibu. Misalnya, sekolah rumah KerLiP dapat menjadi arena baru pembentukan representasi identitas “ibu sebagai pendidik utama”. Jika selama ini, identitas tersebut memang diakui dalam masyarakat patriarkis, tetapi sekaligus juga disempitkan di ruang privat, maka melalui sekolah rumah KerLiP identitas tersebut “diformalkan” dan dikembalikan ke ruang publik. Apalagi, KerLiP juga mendorong terbentuknya ikatan pelaku sekolah rumah dalam tingkat komunitas yang membuat para ibu itu dapat berorganisasi secara publik dan dengan itu terlibat dalam gerakan masyarakat sipil melalui pendidikan. Dengan demikian, para ibu itu dapat dihadapkan pada kesadaran kritis bahwa anak-anak mereka pada dasarnya adalah figur yang diperebutkan oleh pasar, negara, dan keluarga patriarkis. Dengan kesadaran baru itulah, mereka membangun kekuatan bersama anak-anak mereka dan dalam konteks itu pula konsep “anak merdeka” perlu diposisikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar