Saya akan memulai bagian ini dengan mengutip deskripsi Shiraishi (2001, 199-200) tentang pengalamannya mengamati kejadian di ruang kelas sebuah SD di Jakarta.
Ini hari pertama mereka bersekolah. Seorang guru muda berstelan merah jambu memanggil anak-anak yang berseragam putih-merah untuk maju dan menyanyikan sebuah lagu untuk teman-teman barunya. Satu demi satu mereka berdiri di muka kelas dan menyanyikan lagu kesukaan mereka masing-masing, dan mendapatkan tepuk tangan sesudahnya.
Seorang bocah lelaki yang semula tampak ragu-ragu akhirnya berani mengacungkan jari. Tepat pada saat si bocah lelaki siap menyanyi, seorang ibu dengan menggandeng anaknya menerobos masuk kelas dan minta maaf karena datang terlambat, “Jalanan macet,” kata ibu itu. Kemunculan ibu gemuk itu, yang berbedak tebal dan bergaun hijau, mendesak si bocah hingga mepet ke papan tulis. Bocah yang urung menyanyi itu lalu bergerak ke belakang gurunya, mencari ruang yang lega.
Sang guru mempersilakan ibu itu mengantarkan anaknya ke kursi yang kosong di deretan belakang. Sesaat kemudian, seolah baru menyadari apa yang telah dilakukan sebelumnya, sang guru kembali kepada si bocah lelaki dan menyuruhnya menyanyi. Dengan wajah pucat dan tanpa ekspresi, si bocah lelaki menyanyikan sebuah lagu dengan lirih. Sementara itu seisi kelas terbawa untuk tidak mempedulikan nyanyian lirih tersebut. Bocah lelaki itu kembali ke kursinya tanpa mendapat tepukan.
Shiraishi (2001, 200) mengomentari kejadian itu demikian, “Bagi ibu yang datang terlambat, bocah lelaki itu tidaklah ia perhatikan. Yang ia perhatikan hanya anaknya sendiri dan sang guru.” Kita bisa melihat di sini betapa keberadaan seorang anak diabaikan dalam relasi orang dewasa sehingga meminta maaf kepada si bocah lelaki yang hendak menyanyi itu sama sekali tidak dipandang sebagai suatu hal yang penting dan sopan.
Di sekolah, keberadaan anak memang seringkali dilihat melalui wacana administrasi. Suaranya sebagai individu manusia cenderung tidak didengar, sebagaimana yang terjadi pada insiden penolakan anggota DPR untuk mendengarkan suara anak, seperti yang sudah saya kemukakan pada bagian sebelumnya. Tentang wacana administrasi itu, Shiraishi (2001, 207) dengan jitu menggambarkannya sebagai berikut.
Sekarang guru membaca keras-keras nama muridnya satu demi satu. Murid-murid yang terbiasa dengan nama panggilan masing-masing yang pendek, dipanggil dengan nama panjang mereka sesuai urutan abjad. Untuk pertama kalinya ruang kelas menjadi hening. Anak-anak dengan cemas menunggu nama mereka disebut guru dari buku hadir yang tengah dibacanya…. Mereka ada di sana karena nama mereka ada dalam daftar dan dibaca guru. Suara si guru memberi legitimasi kehadiran mereka, sekaligus membangun kekuasaan terhadap anak-anak di dalam kelas.
Daftar hadir kelihatannya memang sesuatu yang sepele, namun di dalam konteks kehidupan sekolah yang sangat didominasi oleh rejim administrasi, daftar itu dapat berubah menjadi saluran yang sangat halus yang mengalirkan kekuasaan untuk mereproduksi sikap diskriminatif terhadap anak dengan meniadakan keberadaan anak sebagai individu manusia. Saluran semacam itu, sebagai contoh lain, dapat pula merasuk melalui jaringan rejim administrasi yang lain di level praktek tes sekolah, seperti Ujian Nasional. Dalam hal ini, Yanti pernah marah besar ketika pada suatu kesempatan, seseorang memberikan pemakluman atas Ujian Nasional dengan alasan bahwa hanya sedikit persentase murid yang tidak lulus. Menurut Yanti, meskipun hanya satu orang anak yang tidak lulus, anak itu adalah manusia juga. Baginya, angka statistik tidak bisa dijadikan dasar pemakluman untuk mengabaikan individu manusia.
Sikap Yanti yang demikian sebenarnya tidak terlepas dari konsep “anak merdeka” yang sejak tahun 1998 diramu dalam diskusi tiap hari Rabu bersama keluarga-keluarga muda yang kebanyakan adalah orang tua murid dan guru di Madrasah Ibtidaiyah Asih Putera dan di beberapa Sekolah Berprogram Khas di Bandung. Dari kelompok diskusi inilah cikal-bakal KerLiP dibangun. Di dalam diskusi itu, “beberapa di antara kami sangat akrab dengan buku-buku Paulo Freire, Renaissance of Asia-nya Anwar Ibrahim, YB Mangunwijaya, Rausan Fikr-nya Ali Shariati, dan pemikiran Jalaluddin Rahmat,” kenang Yanti.
Melihat beragamnya sumber pemikiran yang melatarbelakangi pembentukan konsep “anak merdeka”, konsep ini saya kira kemudian menjadi strategi wacana yang cukup lincah untuk memberi alternatif pada wacana dominan pendidikan nasional tentang identitas murid yang seringkali dirumuskan dalam istilah “cerdas” dan “kompetitif”. KerLiP (2007, 18) memandang bahwa “bila merdeka diartikan lepas dari kebergantungan pada yang lain, maka dalam konteks kemampuan anak untuk belajar, semua anak merdeka.” Pandangan inilah yang kemudian mendasari mengapa pengembangan rasa ingin tahu anak menjadi sangat penting bagi KerLiP. Dalam hal ini, KerLiP (2007, 19) memandang bahwa “rasa ingin tahu pada manusia adalah universal. Orang dewasa lah yang membuat anak-anak tidak merdeka lagi dengan cara mendidik mereka dengan nilai dan pengetahuan yang tidak diletakkan dalam bungkusan rasa ingin tahu. Anak-anak mengetahui kenyamanan adalah kehidupan yang tidak dipertanyakan dari kita orang dewasa. Mendidik, bila tidak berfokus pada tumbuhkembang anak, memang sangat riskan terjebak pada pembunuhan karakter, pembekuan pikiran, dan pelumpuhan kegairahan.”
Dalam masa awal penerapannya di SD Hikmah Teladan, konsep ini sangat didukung oleh orang tua murid yang memang terlibat dalam perintisan konsep tersebut. Namun, belakangan konsep tersebut mulai tersingkir seiring dengan makin banyaknya jumlah murid dan sikap pemikiran orang tua murid yang baru yang berbeda dengan orang tua murid angkatan pertama. Selain itu, komitmen pemilik sekolah itupun juga mulai bergeser dari konsep “anak merdeka” karena konsep ini memang tidak hanya menyangkut perubahan yang mendasar dalam proses pembelajaran di kelas, tetapi juga menuntut sekolah untuk menjalankan keuangan secara transparan, meningkatkan efektivitas partisipasi keluarga di sekolah, mengedepankan prinsip kepentingan terbaik anak, dan proaktif dalam menunjukkan akuntabilitas terhadap peserta didik, guru, orangtua, masyarakat dan pemerintah.
Tantangan terbesar untuk menerapkan konsep “anak merdeka” itu memang terletak pada upaya mempersatukan pihak pemilik sekolah, guru, dan orang tua murid, dan juga pemerintah. Di titik inilah Yanti kemudian makin menyadari bahwa perubahan pada skala mikro pendidikan (praktek pembelajaran di ruang kelas) harus didukung oleh perubahan pada skala makro atau struktural. “Konsep pendidikan anak merdeka yang awalnya berpusat pada rasa ingin tahu anak yang praktis sejak anak melangkahkan kaki ke sekolah dasar terbelunggu oleh berbagai penyeragaman fisik yang berakibat pada penyeragaman pikir ini kemudian berkembang menjadi konsep yang lebih luas terkait dengan kesadaran akan pentingnya memperjuangkan pendidikan untuk semua dalam konteks hak-hak warga negara,” ujarnya.
Upaya memposisikan konsep “anak merdeka” dalam ruang pendidikan yang lebih makro itu kemudian menemukan jalannya dalam kaitan diskursif dengan asas perjuangan pendidikan Ki Hadjar Dewantara, yaitu (1) adanya seorang untuk mengatur dirinya sendiri (2) pengajaran harus mendidik anak menjadi manusia merdeka batin, pikiran, tenaga (3) pengajaran jangan terlampau mengutamakan kecerdasan pikiran karena hal itu dapat memisahkan orang terpelajar dengan rakyat (4) berkehendak untuk mengusahakan kekuatan diri sendiri. Yanti menyadari bahwa keempat asas perjuangan Bapak Pendidikan Nasional ini sudah lama terlupakan dalam pendidikan formal, terutama di sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah.
Dalam kesadaran baru itulah sekolah rumah KerLiP kemudian diposisikan. Karena itu—dalam konteks relasi ruang, kuasa, dan pengetahuan—sekolah rumah ini, di satu sisi, dapat dipahami sebagai tempat (place) bagi formasi pengetahuan “anak merdeka” agar tetap dapat bertahan dan, di sisi lain, sebagai ruang (space) bagi tumbuhnya wacana keluarga yang baru yang terlibat aktif di wilayah publik melalui arena pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar