Kondisi kerja guru yang memprihatinkan itu sebenarnya berakar dari proses marjinalisasi terhadap profesi guru pada tingkat politik pengetahuan, yaitu guru ditempatkan hanya sebagai pelaksana dari kurikulum yang sudah ditentukan secara top-down. Para guru akhirnya dikondisikan untuk tidak memposisikan diri sebagai intelektual transformatif. Dalam kondisi demikian, pekerjaan guru menjadi dipandang lebih rendah daripada pekerjaan birokrat/manajer pendidikan dan, akibatnya, guru sendiri diposisikan sebagai pihak yang harus patuh pada peraturan/kontrol birokrasi. Dalam relasi kuasa yang tidak seimbang ini, ide tentang profesionalisme guru yang banyak didengungkan belakangan ini dapat dilihat sebagai strategi wacana dominan manajerialisme untuk tetap mempertahankan kontrol atas kerja guru.
Dominasi wacana manajerialisme itu membuat ilmu pendidikan di lembaga pendidikan guru mengepinggirkan pengetahuan tentang hubungan pendidikan dan demokrasi. Dalam hal ini, kemungkinan jatuhnya pendidikan (sekolah) sebagai alat reproduksi ketidaksetaraan sosial tidaklah diperhitungkan. Sebaliknya, dalam politik pengetahuan seperti itu, masalah yang dianggap penting hanya berkutat pada perihal mikro, seperti metode pembelajaran, evaluasi, dan administrasi sekolah. Akibatnya, masalah rendahnya mutu pendidikan kerap dicari pemecahannya melalui cara-cara yang tidak mendasar, seperti melakukan sertifikasi guru, karena wacana manajerialisme cenderung menempatkan guru dalam posisi sebagai penyebab rendahnya mutu pendidikan. Di sini blaming the victim atas guru telah terjadi.
Diabaikannya pemikiran tentang hubungan persekolahan dan demokrasi serta pengambing-hitaman guru itu pada gilirannya menimbulkan dampak yang lebih buruk, yaitu pudarnya kebebasan akademik guru. Hal ini jelas sekali terlihat dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Di dalam undang-undang tersebut, yang memiliki hak kebebasan akademik hanya dosen, sedangkan guru tidak. Secara langsung, undang-undang ini telah memperkuat pandangan umum bahwa guru memang profesi yang lemah dan tidak mandiri. Giroux (1988, 122-124) menyebut proses ini sebagai bagian dari deskilling. Menurutnya,
One of the major threats facing prospective and existing teachers within the public schools is the increasing development of instrumental ideologies that emphasize a technocratic approach to both teacher preparation and classroom pedagogy. At the core of the the current emphasis on instrumental and pragmatic factors in school life are a number of important pedagogical assumptions. These include: a call for the separation of conception from execution; the standardization of school knowledge in the interest of managing and controling it; and the devaluation of critical, intellectual work on the part of teachers and students for the primacy of practical considerations…. The effect is not only to the deskill teachers, to remove them from the processes of deliberation and reflection, but also to routinize the nature of learning and classroom pedagogy.
Dominasi wacana manajerialisme ini, yang memberi justifikasi pada “rezim administrasi”, sebenarnya tidak lepas dari konteks historis pembentukannya pada masa Orde Baru. Dalam era Orde Baru wacana dominan yang berkembang adalah wacana keamanan (Dakhidae 2003, 373). Dalam konteks pendidikan di sekolah, hal ini tereproduksi dalam berbagai aspek hubungan guru dan murid, seperti proses pengajaran yang cenderung berlangsung satu arah, dimonopoli oleh guru. Dalam wacana keamanan, hubungan semacam inilah yang dipandang normal karena menempatkan guru pada posisi superior dan berkuasa untuk “mengamankan” murid. Tidak heran pula jika wacana dominan ini melarang sikap kritis murid. Karena itu, dialog dan perdebatan antara guru dan murid, atau antara murid dan murid, sulit sekali terjadi di sekolah. Akibatnya, kemampuan dan keberanian murid untuk bertanya dan mempertanyakan menjadi mandul.
Keadaan di atas semakin rumit ketika kini berkembang suatu kekuasaan pendisiplinan yang baru sejak menguatnya wacana neoliberalisme, yakni yang terwujud dalam apa yang dapat disebut sebagai wacana kompetensi (Smyth dan Shacklock 1998, 136), yang dalam konteks Indonesia mewujud dalam kebijakan Kurikulum Berbasis Kompetensi dan pengarus-utamaan standardisasi pendidikan. Di awal Reformasi memang muncul juga alternatif paradigma kebijakan pendidikan yang lain, yaitu pendidikan multikultur, namun paradigma ini kemudian tidak menjadi acuan negara. Jadi, jika sebelumnya praktik pengetahuan dalam lapangan pendidikan di Indonesia ditundukkan ke dalam wacana keamanan Orde Baru dan wacana psikologi dalam politik pengetahuan pendidikan, kini di masa Reformasi ia didisiplinkan oleh pengarus-utamaan neoliberal.
Ketiganya kini hadir bersama-sama di dalam praktik persekolahan di Indonesia dalam rajutan yang baru. Hal ini tergambar dalam Rencana Strategis Depdiknas dalam Cetak Biru Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif 2025 yang dibuat bersama perusahaan konsultan manajemen AndrewTani & Co. Yang dikedepankan di dalam Renstra ini adalah identitas “cerdas” dan “kompetitif” yang merupakan penanda penting dalam wacana kompetensi dan standardisasi. Memang, pada level realitas atau implementasinya Renstra itu masih bisa dipertanyakan, namun pada level kesadaran dan politik pengetahuan di lapangan pendidikan ia telah menjadi dominan. Di titik inilah pengendalian terhadap guru dan proses pembelajaran di sekolah diperketat dan diperinci melalui berbagai bentuk.
Namun, di titik ini pulalah resistensi mulai muncul di kalangan aktivis pendidikan, termasuk guru itu sendiri, dan kemungkinan upaya ke arah pembentukan ruang publik di arena pendidikan mulai terbuka. Salah satu pihak yang terlibat dalam pembentukan ruang publik itu adalah para orang tua dari kalangan kelas menengah kota yang memilih untuk mendidik anaknya melalui sekolah rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar