2. PENDIDIKAN, SEKOLAH, DAN RUANG PUBLIK
Sebelum membahas sekolah rumah KerLiP dalam hubungannya dengan pembentukan ruang publik di arena pendidikan, saya perlu menjelaskan lebih dulu konsep teoretis yang saya gunakan. Untuk itu, dalam bagian ini saya mencoba menghubungkan teori tentang ruang publik dan pendidikan melalui konsep guru sebagai intelektual transformatif. Giroux (1988, 127) mengemukakan bahwa intelektual transformatif adalah posisi yang diambil guru ketika mereka berupaya untuk membuat “the pedagogical more political and the political more pedagogical”. Yang pertama berarti “inserting schooling directly into the political sphere by arguing that schooling represents both a struggle to define meaning and a struggle over power relations”, sedangkan yang kedua berarti “utilizing forms of pedagogy that embody political interests that are emancipatory in nature; that is, using forms of pedagogy that treat students as critical agents; make knowledge problematic; utilize critical and affirming dialogue; and make the case for struggling for a qualitatively better world for all people.” Melalui pengambilan posisi tersebut, guru pada dasarnya mengubah sekolah menjadi ruang publik. Dalam kata-kata Giroux (1988, 126), “Rather than being objective institutions removed from the dinamics of politics and power, schools actually are contested spheres that embody and express a struggle over what forms of authority, types of knowledge, forms of moral regulation and versions of the past and future should be legitimated and transmitted to students.”
Pandangan Giroux tentang posisi guru sebagai intelektual transformatif dan kaitannya dengan ruang publik memang tidak bisa dilepaskan dari perspektif Pedagogi Kritis yang dikembangkannya dan yang dipengaruhi salah satunya oleh pemikiran Habermas tentang ruang publik. Dalam bukunya yang lain, Giroux (1983) mengemukakan hubungan atau pengaruh tersebut secara lebih eksplisit ketika dia mengajukan perbedaan antara pendidikan (education) dan persekolahan (schooling). Menurutnya, pendidikan merujuk pada atau terkait langsung dengan upaya penciptaan ruang publik.
It represents both an ideal and a strategy in the service of struggling for social and economic democracy. As the embodiment of an ideal, it refers to forms of learning and action based on commitment to the elimination of forms of class, racial, and gender oppression. As a mode of intellectual development and growth, its focus is political in the broadest sense; education deals with needs and issues that arise from the groups involved, while simultaneously drawing upon theoretical constructs that allow the participants to situate such issues within a wider historical, social, and economic context. (Giroux 1983, 239).
Di sisi lain, persekolahan dibedakannya dengan pendidikan dalam hal “it takes place within institutions that serve the interests of the state. These are formal institutions directly or indirectly linked to the state through public funding or through certification requirements.” (Giroux 1983, 241).
Cara Giroux membedakan antara pendidikan dan persekolahan sebenarnya ditarik dari pembedaan Habermas tentang ruang publik dan negara. Meskipun konsep ruang publik (public sphere) dalam pemikiran Habermas terikat pada konteks sosio-historis dari masa yang dikajinya, yaitu era pertumbuhan kelompok borjuis Eropa di abad ke-18, konsep tersebut juga dapat diterapkan pada lapangan pendidikan di masa sekarang dengan beberapa modifikasi. Habermas menjelaskan bahwa ruang publik borjuis itu muncul sebagai bagian dari transformasi struktur sosial pada masa itu (Outhwaite 1994, 8). Karena itu, konsep ruang publik Habermas tidak semata-mata mengacu pada dimensi spasial dalam pengertian ruang fisik yang konkret, melainkan lebih merujuk pada kualitas yang abstrak, yang tergantung pada hubungan-hubungan sosial dan ekonomi. Dalam konteks itulah sebaiknya ruang publik Habermas dipahami ketika dia mendefinisikannya sebagai “a realm of our social life in which something approaching public opinion can be formed” dan dalam ruang ini, “access is guaranteed to all citizens....[that] behave as a public body when they confer in an unrestricted fashion—that is, with the guarantee of freedom of assembly and association and the freedom to express and publish their opinions—about matters of general interest” (Habermas 1974, 49).
Dalam konteks sejarahnya, ruang publik tersebut terwujud lebih dulu dalam apa yang disebut Habermas sebagai “literary public sphere”, yaitu yang muncul dalam bentuk terbitan berkala sastra, coffe houses, dan salons yang di ruang tersebut kalangan borjuis dapat memperbincangkan dan memperdebatkan sastra dan seni secara kritis dan terbuka. Dalam tahap berikutnya, “literary public sphere” ini berkembang menjadi “political public sphere”, yaitu ketika orang-orang dalam “literary public sphere” itu menganalisis, mempertanyakan, dan menolak tindakan atau kebijakan pemerintah, dan dengan demikian mencegah tindak dominasi dari negara yang berkuasa. Tahap ini mengubah relasi kuasa antara negara otoriter (monarki) di satu pihak dan kelompok borjuis di lain pihak. Dalam tahap ini terjadilah pembedaan antara negara, ruang publik, dan ruang privat. Oleh karena itu, Habermas juga menyatakan bahwa ruang publik adalah “a sphere which mediates between society and state, in which the public organizes itself as the bearer or public opinion, accords with the principle of the public sphere—that principle of public information which once had to be fought for against the arcane policies of monarchies and which since that time has made possible the democratic control of state activities.” (Habermas 1974, 50).
Jika kita kembalikan penjelasan Habermas tentang ruang publik tersebut pada konsep Giroux tentang posisi guru sebagai intelektual transformatif, maka dapat diperoleh suatu landasan teoretis untuk menghubungkan fenomena sekolah rumah dengan ruang publik dalam konteks sosio-historis khusus yang menjadi fokus makalah ini, yaitu konteks pendidikan pada era setelah kejatuhan Orde Baru. Landasan teoretis tersebut saya rumuskan dalam beberapa proposisi: (1) sekolah rumah merupakan upaya pembentukan ruang publik dalam arena pendidikan; (2) upaya tersebut dilakukan oleh para orang tua murid dari kalangan kelas menengah kota; (3) upaya tersebut muncul sebagai konsekuensi dari ketidakseimbangan struktural antara orang tua sebagai bagian dari ruang privat, di satu pihak, dan sekolah sebagai aparatus/institusi negara, di lain pihak, berkenaan dengan hubungan anak dan pendidikan; (4) upaya tersebut juga muncul sebagai konsekuensi dari terkikisnya posisi guru sebagai intelektual transformatif sehingga ruang publik itu sendiri tidak bisa terwujud di sekolah. Keempat proposisi tersebut saling terkait dan bagian berikut ini berupaya menjelaskannya lebih lanjut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar