MENGGUGAT PERDAGANGAN PENDIDIKAN,
MENDESAK PEMERINTAH KEMBALI PADA CITA-CITA KONSTITUSI
Pada tanggal 18 Desember 2008 pemerintah Indonesia melalui DPR RI telah men-sahkan Undang Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Pengesahan UU ini telah ditentang oleh berbagai kalangan praktisi pendidikan dengan alasan pendidikan akan menjadi mahal karena diperdagangkan dan negara tidak akan ikut campur lagi mengenai kualitas dan subtansi pengajaran karena semua ditentukan oleh pasar. Indikator bahwa pasar menjadi peran penting atas mati hidupnya institusi pendidikan adalah BHP bisa dipailitkan jika dalam kondisi yang tidak sehat, sedangkan yang sehat dan dipilih banyak masyarakat maka akan bertahan.
UU BHP yang akan diterbitkan pemerintah dalam waktu dekat merupakan salah satu masalah dalam dunia pendidikan kita. Terdapat satu UU yang ternyata menjadi pokok masalah dari mahalnya pendidikan. UU ini menjadikan pemerintah melepas tanggungjawab untuk mensejahterahkan warga negara melalui pendidikan. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ternyata telah memberikan fondasi adanya perdagangan pendidikan. Dampaknya sekarang adalah pendidikan semakin mahal dan masyarakat dipaksa harus membiayai dirinya untuk urusan pendidikan.
Dalam paragraf keempat Pembukaan UUD 1945 sangat jelas dinyatakan bahwa Negara melalui pemerintah wajib memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Makna dari kalimat ini bukan sekedar hiasan tapi merupakan keinginan kuat para pendiri negara, bahwa rakyat Indonesia harus dilayani dan pemerintahlah yang wajib memikirkan seluruh masalah pendidikan termasuk pembiayaannya. Dengan demikian cita-cita pendirian Negara Republik Indonesia untuk mensejahterahkan rakyatnya dan mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan seharusnya menjadi cara pandang pemerintah pada saat sekarang.
Dari kedua UU, baik Sisdiknas maupun BHP sama–sama memberikan beban kepada orang tua dan masyarakat. Subtansi UU sama-sama membolehkan kutipan, perdagangan, dan pelepasan beban negara dari urusan pendidikan, misalnya rekruitmen guru serta pencarian sumber dana pendidikan oleh perguruan tinggi. Ketentuan-ketentuan ini jelas telah bergeser dari filosofi pembuatan konstitusi, dimana sebenarnya dalam dunia pendidikan tidak seharusnya dibedakan kaya dan miskin.
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka kami mendesak kepada pemerintah untuk segera :
1. Membebaskan biaya pendidikan sebagaimana amanat dalam konstitusi Negara Republik Indonesia mulai tingkat pendidikan usia dini hingga pendidikan tinggi ;
2. Mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang Undang (Perpu) untuk mengganti pasal-pasal bermasalah dalam UU Sisdiknas dan UU BHP serta membatalkan peraturan-peraturan dibawahnya yang bertentangan dengan konstitusi dan UU ;
3. Menghentikan dan menghilangkan penyelenggaraan pendidikan yang mendasarkan pada kemampuan ekonomi dan menjadikan masyarakat miskin sebagai alasan diterbitkannya UU BHP.
Demikian sikap yang kami sampaikan agar mendapat perhatian dan dapat dilaksanakan oleh pemerintah.
Yanti Sriyulianti
kordinator Education Forum
RR. Chitra retna s.
Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO)
Gatot
Kordinator
Tim Advokasi Masyarakat untuk Pendidikan Gratis
Kontak PErson :
Yanti : 08159633107
Gatot : 081806979668
ANALISA Pasal-pasal bermasalah
I. UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas
Pasal 12 ayat (1) butir c dan d UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas menjelaskan kontradiksi antara konstitusi dengan UU. Dalam konstitusi jelas seluruh biaya pendidikan ditanggung oleh pemerintah tetapi dalam butir ini ada pembebasan biaya bagi siswa yang tidak mampu. Berikut bunyi lengkapnya :
"Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak :
c. mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya;
d. mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya;
Begitu juga pada Pasal 12 ayat (2) butir b UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mewajibkan pembiayaan dari peserta didik. Berikut bunyi lengkapnya :
"Setiap peserta didik berkewajiban:
b. ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku."
WAJIB BELAJAR
Wajib belajar dalam Pasal 6 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dibatasi hanya usia tujuh hingga lima belas tahun jelas suatu pembatasan yang dimaksudkan untuk melepas beban negara dari pembiayaan pendidikan. Secara tegas dalam pasal ini mengharuskan warga negara bertanggungjawab dalam penyelenggaran pendidikan.
Berikut bunyi selengkapnya :
(1) Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
(2) Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan.
Ketentuan wajib belajar justru dibebankan kepada orang tua sebagaimana disebut dalam pasal 7 ayat (2) UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas berbunyi :
"Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya."
Melalui ketentuan pasal 9 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas justru mewajibkan masyarakat mendukung sumber daya pendidikan. Berikut bunyi lengkapnya :
"Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan."
Pemerintah membatasi kewenangnya membiayai pendidikan warga negara dari usia tujuh hingga lima belas tahun. Berikut Pasal 11 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, berbunyi :
"Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun."
Pada Pasal 34 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dijelaskan bahwa wajib belajar "dapat" diikuti oleh peserta didik. pasal ini tidak mengharuskan peserta didik untuk ikut program wajib belajar.
Berikut bunyi selengkapnya :
"Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar."
PENDANAAN
Pemerintah berupaya melepaskan tanggungjawab untuk memberikan dana dalam pendidikan. Pasal 46 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mengatur pendanaan mengharuskan tanggungjawab bersama antara pemerintah dengan masyarakat. Berikut bunyi selengkapnya :
"Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat."
Penjelasan Pasal 46 Ayat (1)
"Sumber pendanaan pendidikan dari pemerintah meliputi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan sumber pendanaan pendidikan dari masyarakat mencakup antara lain sumbangan pendidikan, hibah, wakaf, zakat, pembayaran nadzar, pinjaman, sumbangan perusahaan, keringanan dan penghapusan pajak untuk pendidikan, dan lain-lain penerimaan yang sah."
Sama halnya dengan Pasal 47 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang memasukan unsur masyarakat untuk bertanggungjawab dalam pendanaan. Berikut bunyi selengkapnya :
"Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku."
Pasal 56 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisiknas menjadi pasal yang mengharuskan masyarakat yang terlibat dalam komite sekolah dan dewan pendidikan untuk mengadakan kebutuhan-kebutuhan pendidikan. Berikut bunyi lengkapnya :
(1) Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah.
(2) Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis.
(3) Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.
(4) Ketentuan mengenai pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
II. UU BHP
OTONOMI
Konsideran menimbang butir b UU BHP menjelaskan tentang otonomi pada lingkup nirlaba dan pengolaan dana. Padahal dalam pasal 24 UU Sisdiknas otonomi dimaksudkan untuk peningkatan keilmuan. Berikut bunyi lengkap konsideran :
"bahwa otonomi dalam pengelolaan pendidikan formal dapat diwujudkan, jika penyelenggara atau satuan pendidikan formal berbentuk badan hukum pendidikan, yang berfungsi memberikan pelayanan yang adil dan bermutu kepada peserta didik, berprinsip nirlaba, dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan pendidikan nasional."
Pengertian otonomi dalam Pasal 24 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, berbunyi :
(1) Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.
(2) Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.
(3) Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik.
(4) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
PELEPASAN TANGGUNGJAWAB NEGARA
Masyarakat dibebankan untuk bertanggungjawab atas pendidikan yang diselenggarakan. Pengaturan tentang sumber dana pendidikan pada Pasal 40 UU BHP berbunyi :
(1) Sumber dana untuk pendidikan formal yang diselenggarakan badan hukum pendidikan ditetapkan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan.
(2) Pendanaan pendidikan formal yang diselenggarakan badan hukum pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Badan hukum pendidikan menyediakan anggaran untuk membantu peserta didik Warga Negara Indonesia yang tidak mampu membiayai pendidikannya, dalam bentuk:
a. beasiswa,
b. bantuan biaya pendidikan,
c. kredit mahasiswa, dan/atau,
d. pemberian pekerjaan kepada mahasiswa.
(4) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab dalam penyediaan dana pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(5) Dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang disalurkan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk badan hukum pendidikan diterima dan dikelola oleh pemimpin organ pengelola pendidikan.
Pelepasan tanggungjawab pembiayaan pendidikan pada tingkat menengah dan tinggi diatur dalam Pasal 41 UU BHP, berbunyi :
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung seluruh biaya pendidikan untuk BHPP dan BHPPD dalam menyelenggarakan pendidikan dasar untuk biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik, berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dapat memberikan bantuan sumberdaya pendidikan kepada badan hukum pendidikan.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan.
(4) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung paling sedikit 1/3 (sepertiga) biaya operasional pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan.
(5) Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan.
(6) Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung paling sedikit ½ (seperdua) biaya operasional, pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan.
(7) Peserta didik yang ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan harus menanggung biaya tersebut sesuai dengan kemampuan peserta didik, orang tua, atau pihak yang bertanggung jawab membiayainya.
(8) Biaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan menengah berstandar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan pada BHPP atau BHPPD paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya operasional.
(9) Biaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan tinggi berstandar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan pada BHPP paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya operasional.
(10) Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya pada badan hukum pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal diatas jelas bertentangan dengan pasal yang mengatur soal penyelenggaraan pendidikan tidak diperkenankan diskriminasi sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (2) butir f dan g berbunyi :
(2) Pengelolaan pendidikan formal secara keseluruhan oleh badan hukum pendidikan didasarkan pada prinsip:
f. Akses yang berkeadilan, yaitu memberikan layanan pendidikan formal kepada calon peserta didik dan peserta didik, tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial, dan kemampuan ekonominya,
g. Keberagaman, yaitu kepekaan dan sikap akomodatif terhadap berbagai perbedaan pemangku kepentingan yang bersumber dari kekhasan agama, ras, etnis, dan budaya,
Terjadi ketidaksonsistenan pengaturan sebagaimana mana ditemukan dalam Pasal 44, yang berbunyi :
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung dana pendidikan untuk BHPM dan BHP Penyelenggara, dalam menyelenggarakan program wajib belajar pendidikan dasar, untuk biaya operasional dan beasiswa, serta bantuan biaya investasi dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik sesuai dengan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan.
(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberikan bantuan dana pendidikan pada BHPM dan BHP Penyelenggara.
(3) Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya pada badan hukum pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan sumber dana yang diambil dari masyarkat baik bantuan langsung maupun melalui investasi berikut Pasal 45 mengaturnya :
(1) Masyarakat dapat memberikan dana pendidikan pada badan hukum pendidikan yang tidak mengikat serta tidak bertentangan dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan, untuk biaya investasi, biaya operasional, dan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik.
(2) Dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa antara lain sumbangan pendidikan, hibah, wakaf, zakat, pembayaran nadzar, pinjaman, sumbangan perusahaan, dan penerimaan lain yang sah.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya memberikan kemudahan atau insentif perpajakan kepada masyarakat yang memberikan dana pendidikan pada badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
KAPITALISASI MODAL
Pasal yang seakan tidak mengambil keuntungan tapi mengatur kapitalisasi modal atau dana yang diperoleh sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU BHP berbunyi :
"Pengelolaan dana secara mandiri oleh badan hukum pendidikan didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya tidak mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan badan hukum pendidikan, harus ditanamkan kembali ke dalam badan hukum pendidikan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan."
Munculnya istilah pendapatan dalam pasal 37 UU BHP, lengkapnya berbunyi :
(4) Kekayaan dan pendapatan BHPP, BHPPD, atau BHPM dikelola secara mandiri, transparan, dan akuntabel oleh pimpinan organ pengelola pendidikan.
(5) Kekayaan dan pendapatan BHP Penyelenggara dikelola secara mandiri, transparan, dan akuntabel.
(6) Kekayaan dan pendapatan badan hukum pendidikan digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk:
a. kepentingan peserta didik dalam proses pembelajaran,
b. pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dalam hal badan hukum pendidikan memiliki satuan pendidikan tinggi,
c. peningkatan pelayanan pendidikan, dan
d. penggunaan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan kekayaan dan pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga.
Pengaturan tentang pendapatan dan sisa uang dari kapitalisasi pendidikan diatur dalam Pasal 38 UU BHP :
(1) Semua bentuk pendapatan dan sisa hasil kegiatan BHPP dan BHPPD yang diperoleh dari penggunaan kekayaan negara yang telah dipisahkan sebagai kekayaan BHPP dan BHPPD, tidak termasuk pendapatan negara bukan pajak.
(2) Semua bentuk pendapatan BHPP dan BHPPD yang diperoleh dari penggunaan tanah negara yang telah diserahkan penggunaannya kepada BHPP dan BHPPD, tidak termasuk pendapatan negara bukan pajak.
(3) Sisa hasil kegiatan atau bentuk lain kenaikan aktiva bersih badan hukum pendidikan wajib ditanamkan kembali ke dalam badan hukum pendidikan, dan digunakan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6) selambat-lambatnya dalam waktu 4 (empat) tahun.
(4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipenuhi, sisa hasil kegiatan atau bentuk lain kenaikan aktiva bersih badan hukum pendidikan menjadi objek pajak penghasilan.
Melakukan usaha dibidang pendidikan dan usaha lainnya diatur dalam Pasal 42, berbunyi :
(1) Badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat melakukan investasi dalam bentuk portofolio.
(2) Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 37 ayat (6) huruf d.
(3) Investasi awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dan investasi tambahan setiap tahunnya tidak melampaui 10 (sepuluh) persen dari volume pendapatan dalam anggaran tahunan badan hukum pendidikan.
(4) Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan atas dasar prinsip kehati-hatian untuk membatasi risiko yang ditanggung badan hukum pendidikan.
(5) Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola dan dibukukan secara profesional oleh pimpinan organ pengelola pendidikan, terpisah dari pengelolaan kekayaan dan pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4)
(6) Seluruh keuntungan dari investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6).
(7) Perusahaan yang dikuasai badan hukum pendidikan melalui investasi portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dimanfaatkan untuk sarana pembelajaran peserta didik.
Pasal 43 menjelaskan tentang keabsahan berinvestasi di perusahaan, bunyinya sebagai berikut :
(1) Badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat melakukan investasi dengan mendirikan badan usaha berbadan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk memenuhi pendanaan pendidikan.
(2) Investasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 42 ayat (3) dan investasi tambahan setiap tahunnya paling banyak 10 (sepuluh) persen dari volume pendapatan dalam anggaran tahunan badan hukum pendidikan.
(3) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola secara profesional oleh dewan komisaris, dewan direksi, beserta seluruh jajaran karyawan badan usaha yang tidak berasal dari badan hukum pendidikan.
(4) Seluruh deviden yang diperoleh dari badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi pajak penghasilan yang bersangkutan digunakan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6).
(5) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dimanfaatkan untuk sarana pembelajaran peserta didik.
Pengaturan dalam BHP telah memunculkan pembedaan berdasarkan kelas sosial. Dengan ditentukannya kuota 20 (dua puluh) persen bagi masyarakat tidak mampu secara ekonomi untuk diterima dalam pendidikan, maka jelas keberadaan BHP hanya aka menerima warga negara yang memiliki kemampuan secara ekonomi. Padahal dalam konstitusi tanggungjawab pendidikan berada pada pemerintah sehingga secara logik jika pemerintah wajib membiayai seluruh tingkat pendidikan maka tidak perlu mengatur tentang kuota bagi yang tidak mampu. Berikut pasal 46 mengatur tentang ini :
(1) Badan hukum pendidikan wajib menjaring dan menerima Warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru.
(2) Badan hukum pendidikan wajib mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik Warga Negara Indonesia yang kurang mampu secara ekonomi dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademik tinggi paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari jumlah seluruh peserta didik.
(3) Peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat membayar sesuai dengan kemampuannya, memperoleh beasiswa, atau mendapat bantuan biaya pendidikan.
(4) Beasiswa atau bantuan biaya pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditanggung oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau badan hukum pendidikan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai beasiswa dan bantuan biaya pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar