Forum OK! kali ini dihadiri oleh Ova, Zamzam, Bu Lovely, Pak Arie, Ibu Nina (Dosen di PGTK Pusdai), Sani dan Wika (Keduanya mahasiswi UPI Jurusan PLS). Cukup aneh bukan. Situasi seperti ini berkebalikan dengan Forum OK! Mizan bulan lalu (Februari-red). Pada Februari, Forum OK! dihadiri oleh hampir 50 orang yang terdiri dari guru TK dan SD serta orangtua.
Forum OK! hari ini yang mestinya dimulai Pk. 09.30 mundur hingga Pk. 10.00 untuk menunggu kedatangan peserta forum. Akhirnya hingga Pk. 10.00 peserta tidak bertambah kami putuskan untuk memulai forum dan mulai berdiskusi.
Bu Lovely memulai Obrolan dengan menanyakan definisi tiap orang tentang “merdeka”, “kemerdekaan”, dan “anak merdeka”. Sani dan Wika memiliki definisi yang hampir serupa, katanya, “Merdeka adalah bebas memilih. Anak yang merdeka adalah anak yang bebas memilih, tapi oleh guru dan orangtua diarahkan.” Bu Lovely sempat nyeletuk “Kalo diarahkan berarti ngga merdeka dong”. Menurut Ibu Nina anak yang merdeka anak yang bebas memilih, oleh orangtua dan guru tetap diarahkan tapi tidak menekan. Akhirnya saya mendapat giliran, menurut saya merdeka adalah bebas memilih apa yang menurut kita baik. Bebas melakukan sesuatu yang kita anggap baik.
Memulai obrolan dengan menyamakan persepsi amat penting dilakukan dalam memahami konsep pendidikan anak merdeka. Setelah setiap orang mengungkapkan definisi “merdeka” sesuai pemahaman yang dimiliki, bu Lovely meninjau kembali apa yang sudah diungkapkan. Bu Lovely mengatakan bahwa kebanyakan orang memaknai kemerdekaan sebagai kebebasan yang bebas sebebas-bebasnya. Kemerdekaan berarti tidak ada sesuatu diluar yang mengatur dan mengontrol. Ketika bangsa
Pada diskusi kali ini, disinggung juga tentang dua mazhab dalam pendidikan. Mazhab pertama adalah tabula rasa, sedangkan yang kedua adalah Mazhab Spiral Potensi. Menurut bu Lovely, seorang anak adalah spiral potensi bukan tabula rasa atau kertas kosong yang tidak memiliki potensi. Menganggap anak memiliki banyak potensi adalah sebuah langkah awal untuk mendidik anak merdeka.
Pada dasarnya anak sudah merdeka dari awal, tapi butuh bimbingan untuk mengelola cara berpikirnya. Sejak awal, anak sudah dikaruniai alat yang canggih berupa otak. Maka itu, sejak awal anak sudah belajar berpikir. Proses berpikir amat penting bagi individu yang merdeka. Anak dibimbing dan diarahkan untuk mengembangkan potensi kemerdekaan dengan membangun pola pikirnya. Kita menyiapkan anak untuk bertanggung jawab serta menemani anak menemukan dirinya. Bimbingan dan arahan yang diberikan oleh guru semata-mata untuk mengembangkan potensi kemerdekaan, bukan malah membatasi dan membelenggu anak.
Kita bicara sejajar, karena menganggap orang lain merdeka, karena menganggap orang lain penting. Begitupun seharusnya kita memperlakukan anak. Untuk mendidik anak merdeka, segala sesuatu harus dikembalikan ke anak, menggali pendapat dan keinginan anak. Dengan begitu kita membantu anak membangun sistem berpikir.
Penting bagi pendidik (orangtua dan guru) untuk mengetahui konvensi hak anak dan membimbing anak untuk mengetahui hak mereka. Selanjutnya, untuk mendidik anak merdeka juga dimulai dengan memahami hak anak terlebih dahulu baru kewajiban mereka. Kewajiban diemban setelah hak diperoleh. Pendidik harus memastikan dirinya memahami hak anak dan memastikan pula anak mengetahui haknya.
Bagaimana metode menghukum pada pendidikan anak merdeka? Kita harus kembali pada makna disiplin, kesepakatan, dan konsekuensi yang harus ditanggung. Jangan terpaku pada reward and punishment, semua harus dikembalikan ke anak, kita harus mengajak anak dalam pembuatan peraturan dan hukuman apabila melanggar peraturan. Semua kesepakatan harus dibuat bersama anak. Hal ini juga membantu anak belajar menalar serta membangun sistem berpikir.
Untuk menanamkan nilai dalam pendidikan anak merdeka, menurut bu Lovely harus dibangun dengan logika terlebih dahulu baru ke nilai dan karakter yang ingin dibangun.
Guru sudah memberi kemerdekaan di sekolah, tapi bagaimana dengan di rumah, karena anak lebih banyak di rumah? Maka itu, sebenarnya tugas institusi sekolah adalah untuk melakukan transformasi dalam masyarakat. Untuk melakukan transformasi dalam masyarakat sekolah harus melibatkan orangtua dalam pendidikan anaknya. Karena, pertama, hak prerogratif untuk mendidik anak dimiliki orangtua. Kedua, dengan melibatkan orangtua dalam pendidikan di sekolah, maka akan tercapai keselarasan pendidikan di sekolah dan di rumah.
Oleh bu Nina, bu Lovely ditanyakan kenapa memilih Homeschooling? Bagaimana sosialisasi anak? Bu Lovely menjawab dengan menceritakan alasan Raka Homeschooling. Setelah itu dapat disimpulkan bahwa homeschooling tidak selalu lebih baik dari sekolah begitupun sebaliknya. Homeschooling atau sekolah adalah sebuah pilihan. Untuk menentukan pilihan tersebut kita harus fokus pada kepentingan dan penghargaan ke anak, bukan pada sistem. Mana yang memang sesuai dengan anak dan diinginkan anak. Sistem yang dibangun bisa saja sekolah atau apapun (mis: homeschooling).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar