a) EFA Development Index (EDI) Indonesia
Pendidikan merupakan salah satu indikator dalam pencapaian Millenium Development Goals (MDGs). Dalam Laporan capaian MDGs Indonesia Tahun 2010 disebutkan angka partisipasi murni (APM) SD/MI pada 2008 telah mencapai 95,14 persen dan meningkat mencapai 95,23 persen pada tahun 2009 . APM menunjukkan bahwa perbandingan antara murid sekolah usia 7-12 tahun dan penduduk usia 7-12 tahun. Namun, jika dilihat secara rinci per provinsi, ternyata ada 14 provinsi di bawah rata-rata nasional. Papua dan Sulawesi Barat terendah dengan APM sekitar 87 persen. Sementara itu, laporan pencapaian MDGs di jenjang SMP/MTs yang dilihat dari angka partisipasi kasar atau APK, rasio jumlah siswa, berapa pun usianya, yang sedang sekolah di SMP terhadap jumlah penduduk usia 13-15 tahun, pada 2008 mencapai 96,20 persen dan menjadi 98,11 persen pada tahun 2009.
Sedangkan APM SMP/MTs secara nasional baru berkisar 74,25 persen. Hal ini menunjukkan sesungguhnya masih banyak anak usia wajib belajar di jenjang SMP yang belum menikmati pendidikan. Lagi-lagi, daerah kawasan Indonesia Timur seperti Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, dan Papua, angka APM SMP/MTS-nya terendah, 59-61 persen.
Jika melihat laporan pencapaian MDG’s, Indonesia termasuk salah satu negara berkembang di dunia dengan prestasi bagus dalam pencapaian angka partisipasi murni (APM) sekolah di Sekolah Dasar (SD) mendekati angka 100 persen. Sementara itu, dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011, laporan tim EFA akhir 2011 menyatakan, posisi EFA Development Index (EDI) Indonesia tahun 2008 ada pada rangking 69 dari 127 negara yang disurvei. Prestasi ini menurun jika dibanding posisi 2005, rangking ke-62 dari 129 negara.
Laporan capaian MDG’s dan laporan capaian program EFA merupakan fakta penting dalam hal pembangunan pendidikan. Dari sisi APM, tahun 2002 posisi Indonesia pada ranking 39, naik menjadi ranking 28 (2005). Sementara itu, indeks kesetaraan gender ada pada ranking 65 selama 2002-2005. Jika tren meningkatnya APK-APM SD dan SMP ini dipertahankan dan kesetaraan gender ditingkatkan, diperkirakan sebelum 2015 Indonesia bisa menuntaskan target MDG’s untuk kedua aspek tersebut.
Indonesia masih tertinggal dari Brunei Darussalam yang berada di peringkat ke-34 yang masuk kelompok pencapaian tinggi bersama Jepang yang mencapai posisi nomor satu di dunia. Sementara Malaysia berada di peringkat ke-65. Posisi Indonesia jauh lebih baik dari Filipina (85), Kamboja (102), India (107), dan Laos (109).
Total nilai EDI diperoleh dari rangkuman perolehan empat kategori penilaian, yaitu angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut kesetaraan jender, dan angka bertahan siswa hingga kelas V sekolah dasar.
Penurunan EDI Indonesia yang cukup tinggi tahun ini terjadi terutama pada kategori penilaian angka bertahan siswa hingga kelas V SD. Kategori ini untuk menunjukkan kualitas pendidikan di jenjang pendidikan dasar yang siklusnya dipatok sedikitnya lima tahun. Indikasi penurunan tingkat keberlanjutan sekolah sampai tahun ke-5 dan tingkat melek huruf dewasa perlu diwaspadai. Pada tahun 2002 Indonesia pada rangking ke-68, tahun 2005 turun ke peringkat 77. Sementara dari indikator tingkat melek huruf dewasa, peringkat Indonesia turun dari 67 menjadi 71 pada waktu yang sama.
Terlihat bahwa ukuran kuantitatif, seperti tingkat daftaran siswa, baik APM maupun APK, belum menunjukkan prestasi sebenarnya di bidang pendidikan suatu negara. Penggunaan indikator APK mengesankan, pemerintah lebih terfokus pada program yang bersifat penyelamatan daripada pencegahan. Semakin besar selisih APK dengan APM berarti karena berbagai alasan makin banyak jumlah anak yang belum mengikuti tingkat pendidikan tertentu sesuai tumbuh kembang usianya. Jika dibiarkan, indikasi ini juga dapat menjadi bukti rendahnya pengawasan keberlanjutan dan penyelesaian pendidikan siswa. Tingginya angka putus sekolah di Indonesia menjadi salah satu faktor penjelas terjadinya kontradiksi prestasi pendidikan Indonesia.
Dalam upaya mengurangi pertumbuhan angka kemiskinan, diperlukan pengenalan dan adaptasi indikator tingkat keberlanjutan sekolah hingga tahun ke-5, rasio guru-murid sebagai proksi kualitas sekolah dan jika perlu dipertajam dengan menggunakan tingkat penyelesaian sekolah seperti yang dilaksanakan di beberapa negara maju. Pengalaman berbagai negara menunjukkan, adaptasi konsep ini memberikan manfaat besar terhadap prestasi dunia pendidikan. Bukan hanya ketersediaan data statistik pendidikan yang lebih lengkap, beberapa penelitian menyebutkan positif dan signifikannya pengaruh keberlanjutan siswa sampai tahun ke-5 dengan capaian skor tes siswa di sekolah terhadap kemampuan belajar pada tingkat SMP.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar