Rembug Bencana Jepang Ala Kuntoro
Oleh: Victor Rembeth untuk Indonesia dan Jepang
Pada awalnya ada kekagetan tak terkira ketika ada email dan
sms yang berseliweran berupa undangan kepada LSM dan
jaringannya untuk hadir dalam pertemuan penanggulangan bencana
pada tanggal 13 Maret 2011 di Jakarta dari seorang ketua UKP4
yang bukan orang sembarangan di republik ini. Reaksi dini
menanggapi aksi Kuntoro ini mulai dari yang netral seperti
rasa tidak percaya sampai kepada yang ekstrim dan suudzon
bertanya-tanya, untuk apa lagi “Unit Kerja Elit” ini mengajak
masyarakat sipil bicara tentang bencana?
Memasuki ruang pertemuan di kawasan terbatas di Jakarta ini
menambah banyak pertanyaan yang memang sudah ditambah dengan
berbagai macam bumbu kemungkinan yang menyertai undangan ini.
Hadirnya berbagai tokoh penting pemerintahan, seperti Direktur
Asia Timur dan Pasifik Kementrian Luar Negeri dan Direktur
Kerjasama Fungsional ASEAN, serta Kepala perwakilan PBB untuk
Indonesia, wakil resmi kedutaan besar Jepang, direktur AHA
center, dan beberapa perwakilan lembaga Internasional seperti
Bank Dunia, UNHCR dan lain menambah pompaan adrenalin perihal
pentingnya agenda pertemuan ini.
Setelah pembukaan awal oleh pengundang, pertemuan ini dimulai
dengan paparan tentang kondisi kultural dan ekonomi Jepang
yang sedikit banyak akan mempengaruhi respon tanggap darurat
dari berbagai pihak luar yang datang ke Negara itu. Soni
Harsono, sebagai ketua komite ekonomi Indonesia-Jepang yang
menjelaskan hal ini juga menegaskan keberbahayaan dan
tantangan yang akan dihadapi oleh relawan khususnya
berhubungan dengan pendekatan kepada masyarakat Jepang dan
bahaya sekunder reaktor nuklir.
Penjelasan oleh Soni menjadi sangat menarik ketika berkenaan
dengan reaktor nuklir Fukushima yang memiliki 6 unit
pembangkit, dimana 2 unit , yaitu unit 1 dan 3 mengalami hydro
explosion karena tingkat suhu yang meningkat pada pendingin
air, namun belum sampai pada tahapan chain reaction yang dapat
mengakibatkan bencana sekelas ledakan bom atom. Ada kelegaan
ketika dijelaskan bahwa pada saat ini pihak pengelola telah
mampu melakukan perbaikan pada kedua unit ini.
Alur pertemuan kemudian mengalir lebih lancer dengan Kuntoro
berperan sebagai moderator yang ditambah dengan berbagai
penjelasan dari kedutaan besar Jepang , Kementrian Luar
Negeri, Kepala Perwakilan PBB dan juga diimbuhi disana sini
dengan berbagai pertanyaan perihal situasi kondisi terakhir
bencana Jepang dan sekaligus penambahan informasi dari
berbagai pihak yang hadir.
Pertanyaan mengenai apa maksud pertemuan ini akhirnya
terpecahkan, ketika Faisal Djalal dari MPBI bertanya apa peran
masing-masing dan untuk apa bertemu. Kuntoro kemudian dengan
kasual dan tanpa formalitas berlebihan menjelaskan bahwa
pertemuan yang difasilitasnya ini bukanlah dalam posisi beliau
sebagai ketua UKP4, tetapi lebih pada inisiatif yang
mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan sebagai bangsa yang
pernah dibantu banyak oleh Jepang dalam berbagai
penanggulangan bencana yang terjadi di Indonesia, khususnya
Tsunami 2004.
Serta merta suhu pertemuan meningkat, bukan dalam suasana adu
argumentasi ala pansus DPR, tetapi lebih kepada upaya
“fastabiqul khoirot” alias berlomba berbuat kebaikan dengan
membuka lebar berbagai sumber daya yang dimiliki masing-masing
peserta yang dapat digunakan untuk alat mengasihi sesamanya
manusia yang sedang menderita di Jepang. Rembug ini menjadi
sangat kental dengan suasana partisipatif dan jauh dari
pemaksaan birokrat yang bertujuan mendikte model
penanggulangan bencana .
Masyarakat sipil yang hadir, seperti Humanitarian Forum
Indonesia, MPBI, World Vision, Dompet Dhuafa, YEU,
Muhammadiyah (MDMC), Rescue Jakarta, Hope International,
Gerakan Kemanusiaan Indonesia, Obor Berkat dan berbagai
organisasi alumni Jepang larut dalam sebuah model rembug penuh
dengan kesetaraan dan saling mengisi. Pewakil
organisasi-organisasi PBB dan Aseanpun terbawa dalam sebuah
semangat kebersamaan yang berangkat dari nilai-nilai
kemanusiaan yang asali.
Yang menarik juga adalah semua menghargai ketika wakil
pemerintah Jepang mengatakan belum memerlukan bantuan, ketika
semua peserta sudah “kebelet” untuk berbagi. Juga tidak ada
protes ketika Pemerintah Jepang menyatakan tidak begitu mudah
memberikan ijin bagi relawan untuk terlibat, karena bukan saja
karena kapasitas yang mereka miliki sudah memadai, namun aspek
hambatan kultural dan cuaca akan menjadi penghalang bagi
relawan yang hadir. Sehingga pada saat ini pemerintah Jepang
belum memberikan daftar kebutuhan bantuan, dan pada
kenyataannya kendati sudah ada 50 negara yang menawarkan
bantuan, baru 1 negara yaitu Amerika yang diterima oleh Negara
ini.
Kembali sang pengagas pertemuan mengkonfirmasi bahwa keputusan
pemerintah Jepang ini haruslah dihargai. Karena berkaca pada
pengalaman tsunami 2004, diperlukan kedaulatan sebuah Negara
untuk mengatur manajemen tanggap darurat yang ada agar dapat
efektif dan efisien. Hal ini juga memperjelas modek
koordinasi yang ada yaitu pada saat ini pemerintah Jepang
lebih memilih untuk menyalurkan melalui lembaga-lembaga
kemanusiaan yang sudah ada perwakilan di Jepang, seperti
Palang Merah Internasional, dan berbagai lembaga lain yang
sudah ada perwakilan disana.
Namun berbagai usaha-usaha yang berlandaskan ketulusan
kemanusiaan ini tidak serta merta diabaikan atau bahkan
dilarang, tetapi justru inisiatif yang ada sangat dihargai
dalam pertemuan ini. Apresiasi yang tinggi diberikan kepada
berbagai pihak yang hadir yang langsung menunjukkan
kebersediaan untuk berbagi dan kemauan untuk mendukung
upaya-upaya penanggulangan bencana di Jepang.
Sebelum pertemuan ini ditutup dengan mengheningkan cipta
sebagai wujud berbagi rasa duka dengan masyarakat Jepang, para
peserta sepakat mengusulkan perlunya upaya-upaya koordinasi
dan konsolidasi ini diteruskan. Kuntoro memastikan bahwa forum
ini akan berlanjut dan dengan penuh keyakinan ia mengatakan
bahwa nilai “from Indonesian people to Japanese People”
haruslah menjadi bagian hakiki dari model koordinasi yang
digagas ini.
Sebuah orchestra koordinasi penanggulangan bencana telah
dimainkan secara manis oleh pengundang yang membagi berbagai
instrument pelaku manajemen bencana dalam sebuah komposisi
awalnya dengan baik. Ada pengakuan terhadap peran, fungsi dan
kedaulatan masing-masing peserta, namun sekaligus juga ada
penghormatan terhadap kelebihan dan kekurangan setiap pelaku
yang masuk dalam lagu kerjasama indah yang digubah oleh dari
dan untuk kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar