Rosita sedang berjongkok di depan Madrasah yang kulewati pagi itu. Seragam pramuka yang dikenakannya berkibar-kibar tertiup angin pantai di pagi hari. Anak perempuan kelas 5 di MI tersebut sedang bermain bersama teman-temannya di depan madrasah yang tak goyah kena gempa. Dua anak lak-laki terlihat memainkan pistol-pistolan hitam dibalik mobil puskesmas keliling yang parkir diantara madrasah dan masjid. "Rumah saya hancur, Bu! Saya, ibu, dan yang lainnya tidur di tenda depan rumah. Ibu juga memasak di tenda." jelas Rosita menjawab pertanyaanku tentang rumahnya. Rosita mengaku sangat senang waktu sekolah kembali dibuka setelah gempa membuatnya kehilangan tempat tinggal. Sayangnya di MI tersebut belum ada perpustakaan sehingga Rosita dan kawan-kawannya yang tiba sejak jam 6.30 lebih banyak menunggu sambil mengobrol sampai bel masuk jam 7.30 dibunyikan.
Pagi itu, aku dan para relawan Rumah KerLiP menyusuri pesisir pantai Pamengpeuk sebelum mengikuti acara pembukaan Taman Bacaan Masyarakat dan PAUD pada sarasehan dan tasyakuran warga dan aparat Pangawaren Desa Pamalayan Kabupaten Garut tanggal 15-16 Oktober 2009. Debur ombak susul menyusul menghampiri jejak kakiku di pantai pasir putih yang masih perawan. Pahim, relawan dari Dukuh mengantarku menyusul Zamzam, Ova, Oka dan Bram yang berencana untuk berenang. Kami berjalan ke arah batu-batu karang melewati ranting-ranting dan batang kayu yang berserakan. "Kita naik motor aja, Bu! Jalan kaki menuju Santolo cukup jauh," kata Pahim. Perlahan kami keluar dari pantai di dekat Madrasah Ibtidaiiyyah tempat Rosita dan teman-temannya belajar. Kami melewati mobil puskesmas keliling sudah pindah ke pinggir jalan keluar dari pantai tersebut. Kami memasuki jalan setapak menuju Karang Papat. Ada beberapa kelompok masyarakat yang tengah menyemai benih padi di tanah pinggir pantai berpagar besi milik LAPAN. Ada istilah khusus yang dijelaskan Pahim tentang kegiatan tersebut. LAPAN memperoleh bagi hasil dari jenis pertanian tersebut.
Hamparan pasir putih dihiasi semak belukar tanaman pinggir pantai terlihat begitu indah. . Motor terus melaju melewati padang rumput hijau sampai gerbang kantor LAPAN diiringi deburan ombak dan bisikan para petani penggarap lahan LAPAN yang terbawa angin pantai. Barisan warung di pinggir pantai Santolo terlihat jelas. Beberapa rumah penginapan disusul dengan warung ikan asin jambal menebarkan bau amis khas tepi pantai. Para nelayan sedang sibuk menyiapkan jaring mereka di seberang pantai yang terlihat begitu tenang pagi ini. Ada dua orang anak laki-laki yang berenang di sebelah kanan bebatuan di seberang pulau Santolo. "Batu-batu ini kalau tidak salah dipasang oleh Dinas Pariwisata. Mungkin maksudnya untuk memperindah. Sayangnya karena tidak ada penjelasan yang lebih lanjut, onggokan batu yang membentuk muara ini menghambat perahu-perahu yang agak besar untuk merapat ke dekat Tempat Pelelangan Ikan di Santolo," kata Pahim sambil memanduku menyusuri bebatuan menghampiri beberapa penjaring ikan di muara dekat pulau Santolo. Alhamdulillah...akhirnya aku dapat menikmati pemandangan alam nan indah di Pantai Santolo.
Sebelum pulang, kami sempat mengobrol dengan Pak Agus, penduduk yang terkena gempa di kampung Nelayan Pamalayan. Ada 7 tong air bersih yang sedang disiapkan Pak Agus untuk keperluan berlayar esok hari. "Air ini diperlukan untuk memasak dan mandi selama 7 hari di laut. Kami berenam akan berlayar menggunakan perahu motor,"kata Pak Agus saat ditanyakan tentang kegiatannya pagi ini. "Perlu sedikitnya 5 juta rupiah untuk menangkap ikan selama seminggu! Di musim sepi seperti ini, ikan yang kami tangkap jauh dari modal yang kami pinjam. Kadang-kadang hanya sejumlah 2 juta Rupiah. Akibatnya hutang kami makin menumpuk" jelas temannya menambahkan. Rupanya Tempat Pelelangan Ikan di Santolo tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena para nelayan tidak punya pilihan selain menjual tangkapan mereka kepada para tengkulak uyang meminjamkan modal. Wajar saja jika harga ikan di Santolo jauh lebih murah dari harga ikan di tempat lain dan para nelayannya sulit membebaskan diri dari jeratan hutang. "Dari 20 kali melaut paling sekali bisa mendapatkan tangkapan senilai 20 juta rupiah,"jelas Pahim yang diperkuat oleh Pak Agus. Pahim juga menjelaskan beberapa hal mengenai para perempuan bakul yang terlihat menunggu tangkapan ikan dari para nelayan perahu tradisional yang tengah merapat di penghujung pantai Santolo saat kami pulang menuju posko Serikat petani Pasundan di Cieurih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar