Rumah Belajar Bahtera, 31 Mei 2009
Melanjutkan pembicaraan sebelumnya di Taman Cilaki dan EEP Dago, hari ini Forum Pendidikan Alternatif bertandang ke Rumah Belajar Bahtera di kawasan Sukajadi, Bandung. Seperti yang telah dibicarakan pada pembicaraan sebelumnya, kegiatan ini diarahkan pada pembangunan jaringan dan saling berbagi antar komunitas pendidikan alternative. Sekarang, giliran Yayasan Bahtera Indonesia yang menjadi tuan rumah dialog dan memaparkan apa saja yang telah mereka lakukan selama ini. Kegiatan ini sendiri diikuti oleh beberapa komunitas pendidikan, seperti KerLiP, Kalyanamandira, Sanggar, Gita Pontianak, Walagri Tasikmalaya dan tentu saja Bahtera sebagai tuan rumah. Berikut intisari dialog yang dipandu oleh Zamzam tersebut :
Yayasan Bahtera Indonesia didirikan oleh beberapa orang guru yang mengajar di sekolah formal sejak tahun 80-an. Saat itu, mereka banyak melakukan pendampingan dan advokasi terhadap anak-anak yang orang tuanya dianggap terlibat G30S/PKI atau gerakan Darul Islam (DI). Antara tahun 1993 – 1994 mereka pun mendampingi anak-anak cacat. Baru pada tahun 1995 mereka mendirikan Yayasan Bahtera Indonesia yang banyak mengurusi anak-anak jalanan dan terlibat proyek IPEC – ILO bersama Muhammadiyyah.
Basecamp utama Bahtera bertempat di Cijerah, Bandung. Mereka melakukan pendampingan di 9 titik di Kota Bandung, seperti, di Ciroyom, Pasir Koja, Alun-alun, Stasiun Bandung, Sukajadi dan beberapa tempat lainnya. Semula semua kegiatan dilakukan di jalanan. Baru pada 1999/2000 sebagian aktivitas dilakukan di rumah singgah atau rumah belajar.
Pada masa awal pendampingan anak-anak jalanan ini, para relawan Bahtera melakukan proses penjangkauan. Proses ini dilakukan dengan cara menyimpan seorang relawan di beberapa titik tempat anak-anak jalanan berkumpul. Para relawan mengamati perilaku anak-anak, berdialog dengan mereka, sampai mencari tahu di mana mereka tinggal.
Ada beberapa cerita menarik dalam proses penjangkauan ini, khususnya yang dialami oleh Pak Maman salah seorang pendiri Bahtera. Ketika beliau melakukan pengamatan anak-anak di jalanan, ia sempat disatroni oleh seorang kepala preman. Namun, setelah dijelaskan si preman itu malah mendukung kegiatan ini. Kejadian menarik pun terjadi ketika Bahtera mulai masuk di kawasan Sukajadi. Hampir 3 bulan setelah Pak Maman dan kawan-kawan tinggal di kawasan ini, para warga lebih sering menutup pintu mereka karena mereka merasa khawatir dan takut. Selidik punya selidik, ternyata mereka melihat tampang Pak Maman mirip kepala tibum (Satpol PP). Namun, setelah melakukan dengan warga dan pemerintah setempat akhirnya Bahtera dapat diterima di kawasan ini.
Selain dilakukan di jalanan, sekarang ini proses pendampingan pun dilakukan di rumah belajar. Di rumah belajar ini anak-anak dapat belajar apa saja yang mereka sukai. Anak-anak pun diikut sertakan ke dalam Kelas Layanan Khusus (KLK) sebagai wahana transisional sebelum anak-anak merasa siap masuk kelas regular/formal. Semula Bahtera hanya menargetkan anak-anak dapat menulis dan membaca saja. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan berbagai tuntutan, anak-anak pun diikut sertakan dalam program kesetaraan baik Paket A, Paket B sampai Paket C.
Selain pendampingan anak di jalanan dan rumah belajar, pendampingan pun dilakukan dengan cara home visit, yaitu dengan cara mengungjungi orang tua anak. Hal ini dilakukan agar orang tua mengetahui perkembangan anak-anak mereka yang lebih banyak hidup di jalan. Di samping itu, kegiatan ini pun diarahkan pada pemberdayaan para orang tua.
Pola pendampingan yang dilakukan Bahtera didasarkan pada kesepakatan bersama anak. Kesepakatan ini termasuk pada penyusunan modul-modul pembelajaran. Di samping penyusunan modul-modul ini, Bahtera pun mendampingi anak-anak untuk menulis beberapa literasi jalanan. Literasi jalanan yang ditulis anak-anak dalam perkembangannya sekarang telah dapat dibukukan. Bahtera pun melakukan pendampingan dalam penanganan kasus HIV/AIDS dengan beberapa pelatihan kesehatan reproduksi bagi anak. Bahtera pun acapkali mengadakan Pekan Hari Anak. Sejauh ini, Bahtera mendampingi ± 600 orang anak di sekitar Bandung.
Di akhir dialog muncul beberapa catatan bersama tentang proses yang telah banyak dilakukan oleh komunitas-komunitas pendidikan alternative. Sebagian besar komunitas mempunyai kelemahan di sisi dokumentasi dan analisa program, sehingga seringkali komunitas memulai segalanya dari nol apabila terjadi pergantuan kepengurusan. Komunitas-komunitas ini pun merasa perlu ada panduan bersama yang dapat dipergunakan oleh komunitas mana pun yang mempunyai concern yang sama di bidang pendidikan. Setiap komunitas pun perlu melakukan rekam jejak eksistensi mereka sejak awal berdiri sampai sekarang. (izoel_KerLiP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar