Sabtu, 16 Mei 2009

Catatan awal Litbang KerLiP

assalamu'alaikum rekan penggiat pendidikan

Saya mau berbagi cerita, tentang perjalanan guru -
guru dan tim litbang kerlip jungkir balik dari satu
tepi hutan ke tepi hutan lainnya.
kerja bareng Serikat Petani Pasundan ini akan terus
berlanjut sedikitnya sampai 53 titik/desa petani tepi
hutan di Garut, Tasik, Ciamis punya sekolah gratis dan
bermutu.
rencananya tanggal 6-8 November kita mau susun sumber
belaja/referensi untukl anak - anak petani. Ada yang
bisa bantu cari penyandang dana kegiatan ini? Setiap
kegiatan pengurus KerLiP hanya bisa sisihkan dana 1
juta rupiah ongkos, makan, dst 10 orang guru SD Hikmah
Teladan, FORMACI, FPMR, SPP. Semoga jika ada yang bisa
bantu carikan dana kegiatan ini bisa lebih baik lagi.

Begini ceritanya............

Jurnal Perjalanan :
Kembali, Membantu Peningkatan Mutu Pendidikan Madrasah
Terpencil dan Gratis
Atas kerja sama KerLiP, SD Hikmah Teladan, dan Serikat
Petani Pasundan

Kamis, 14 Oktober 2004
Hari ini mempersiapkan bahan-bahan yang akan dibawa ke
Cieceng. Lembar-lembar LKS sebagian sudah diperiksa
tadi malam. Sebagian lagi rencananya akan diselesaikan
malam ini. LKS yang kuperiksa adalah LKS-LKS yang
berhubungan dengan pelajaran matematika untuk kelas
rendah ( kelas 1 s/d 3 SD). Oleh Pak Aripin, kami
memang dibagi beberapa mata pelajaran yang harus
dikuasai untuk dapat transfer ilmu kepada mereka. Hal
ini dilakukan untuk memastikan bahwa besok kita
membawa bahan (LKS) yang sesuai dengan Kurikulum
Berbasis Kompetensi. Keterbatasan mereka, membuat
kami mempunyai pikiran bahwa mereka akan lebih mudah
menggunakan LKS yang pernah kami buat daripada mereka
membuatnya sendiri.

Jum’at, 15 Oktober 2004
Kami mulai berkumpul di rumah Pak Arifin (base camp)
pukul 10 pagi. Meneruskan kerja kemarin dan mulai
menggandakan LKS-LKS yang menurut kami dapat dipakai
di sana.
Selepas sholat Jum’at, pukul 13.30 WIB kami memulai
perjalanan. Tim kami terdiri dari 4 orang pria dan 4
orang wanita. Selain Pak Aripin, maka semua adalah
guru SD Hikmah Teladan. Bersama kami, turut serta
istri dan 2 putra Pak Aripin. Tujuan pertama kami
adalah kota Tasikmalaya. Bis berangkat pukul 14. 45
WIB dan sampai di daerah Mitra Batik pukul 17.45 WIB.
Kami beristirahat di rumah keluarga (mertua) Pak
Aripin.

Sabtu, 16 Oktober 2004
Setelah sahur dan sholat subuh, Tim kami pergi untuk
bergabung dengan teman-teman dari FARMACI, FPMR dan
beberapa anggota Serikat Petani pasundan pusat yang
juga akan pergi ke daerah tersebut. Kami semua naik
truk yang sering digunakan untuk mengangkut kayu dari
daerah tersebut. Perjalanan di mulai dari kantor
secretariat FPMR (forum pemuda & mahasiswa untuk
rakyat) menuju daerah Cieceng. Menurut Aji (
Koordinator Unit Sekolah SPP) perjalanan akan memakan
waktu 3 jam. Itu pun dengan ngebut lho! 1,5 jam
pertama dilalui dengan mulus di jalanan beraspal.
Namun 1,5 jam berikutnya mulai dari pertigaan
Salopa-Cikatomas, truk kami mulai memasuki jalan
berbatu. Terguncang-guncang selama 1,5 jam membuat
badanku jadi biru-biru terantuk dinding truk. Jalan
mendaki dan menurun. Kalau tidak salah hitung sih..
lewat tiga bukit kami baru sampai. Jam 08.30 WIB kami
tiba di dusun Mekar Haruman, Desa Sindang Asih
Kecamatan Cikatomas, tempat sekolah-sekolah itu
berada. Menurut keterangan teman-teman dari FARMACI,
penduduk yang tinggal di wilayah kasus Cieceng
berjumlah 900 kepala keluarga, yang tersebar di
beberapa lokasi. Daerah ini terlihat cukup gersang.
Bahkan dibeberapa tempat yang kami lewati, beberapa
pohon pisang, daunnya terlihat layu kecoklatan
seperti terkena panas (namun tidak kering). Daerah
ini memang terkenal sebagai penghasil pisang dan
singkong. Meskipun demikian di beberapa tempat kami
juga menemukan lahan pesawahan. Daerah ini memang
dilintasi sungai, namun terlihat kering. Truk kami
berhenti di pertigaan jalan kampung. Di sekitarnya
terdapat 5 rumah yang letaknya berdekatan. Kami
beristirahat sejenak di salah satu rumahberlantai
keramik. Menurut keterangan teman-teman dari FARMACI,
orang-orang di dusun ini memang tidak diperkenankan
untuk membuat rumah permanent. Konflik antara mereka
dengan pihak perkebunan lah yang menyebabkan hal itu
terjadi. Listrik diambil dari generator yang ada di
mushola, dengan demikian untuk rumah-rumah yang jauh
dari mushola, listrik akan semakin langka (ada juga
yang mengambil listrik dari dusun-dusun lain yang jauh
letaknya, namun telah memiliki fasilitas PLN).
Peralatan memasak di rumah mereka masih menggunakan
hawu (kompor tungku menggunakan kayu bakar). Ada dua
hal yang mengganggu kami sesampainya di sana. Pertama,
tidak adanya sinyal di handphone kami, dan kedua
WC-nya ada di atas kolam dan terbuka!! Tentu saja ini
sangat tidak nyaman bagi kami yang biasa dengan WC
tertutup. Meskipun semua orang meyakinkan kami bahwa
WC tersebut aman dari pengintip (lagian siapa yang mau
ngintip?!) namun kami tetap masih sangat takut untuk
menggunakannya. Lagipula WC yang terdekat dengan
rumah (terbuat dari bambu-bambu) yang disatukan tampak
sangat licin. Sepertinya tidak lucu kalau kami sampai
tercebur dalam kolam dalam keadaan seperti itu. Oleh
karena itu, sementara para pria beristirahat, kami
(para wanita) pergi untuk melihat-lihat dan
bertanya-tanya dimana letak WC yang cukup tertutup dan
higienis). Kami mencoba salah satu WC yang tampaknya
cukup terlindung (dinding betonnya cukup tinggi) namun
tidak berpintu! Sebelum melakukan aktifitas di WC,
kami juga harus menimba air yang dikerek secara
tradisional (tidak menggunakan katrol). Untuk itu
kami harus berdiri bergantian di jalan yang berada di
atas WC, karena khawatir para pria akan berjalan
melewatinya dan dapat melihat kami yang sedang di WC.
Setelah menemukan WC tersebut, masalah MCK dianggap
selesai! Kami pun berjalan-jalan di temani salah
seorang anggota FARMACI untuk melihat kondisi sekitar
dusun Mekar Haruman ini. Cukup jauh juga kami
berjalan, kira-kira 10 menit. Kami menemukan beberapa
rumah (yang semuanya) tidak permanen dan areal
pesawahan. Di dekatnya ada reruntuhan bangunan beton
yang tampaknya sudah sangat lapuk. Di dekatnya
terdapat bangunan yang dinding-dindingnya terbuat dari
beton namun terlihat seperti rumah runtuh. Bangunan
tersebut mempunyai jendela-jendela cukup lebar namun
tidak berkaca (berpelindung seperti layaknya jendela).
Hanya bilah-bilah bambu yang berfungsi seperti
teralis. Bangunan tersebut memiliki 4 ruangan. 2
ruangan difungsikan sebagai kelas (Tsanawiyah) dan
sisanya kami tidak tahu. Tetapi yang pasti tidak bisa
dijadikan kelas karena cukup kecil. 2 ruang kelas
tersebut hanya dibatasi dengan papan tulis yang cukup
besar dan dibuat secara darurat (triplek yang dicat
hitam). Sebetulnya keduanya memang memiliki batas yang
jelas karena asalnya terdapat dinding yang membatasi
keduanya. Menurut dia bangunan tersebut dan
reruntuhan tersebut (serta ada satu lagi bangunan yang
masih difungsikan sebagai rumah) merupakan peninggalan
dari kantor Perkebunan yang ditinggalkan sejak tahun
1997. Bangunan tersebut sengaja diruntuhkan oleh
masyarakat (alasan tidak jelas..). Sesungguhnya
bangunan sekolah Tsanawiyah juga sudah tidak layak
pakai, namun sejak digunakan sebagai sekolah, maka
bangunan tersebut diperbaiki oleh SPP dan masyarakat.
Sebelum digunakan sebagai sekolah, bangunan ini
berfungsi sebagai base camp SPP, dan kemudian
digunakan pula sebagai balai pertemuan. Tidak heran
meja dan kursi yang digunakan juga tidak lazim. Satu
kelas diisi oleh 5 meja yang cukup besar dan tinggi,
sementara kursi yang dipakai adalah bangku panjang
bersandaran (seperti bangku di ruang tunggu dokter
). Rasanya kami seperti ada di kedai nasi
saja .. Tak lama kami di sana dan mendengar cerita
tentang kondisi desa. Bermunculan lah satu persatu
warga desa. Mereka adalah beberapa penduduk,
guru-guru, kepala sekolah MI, dan Pengelola Pesantren
(?) Kami terlibat percakapan (yang awalnya hanya
santai) tentang kondisi sekolah dan bagaimana
penanganan sekolah yang baik. Dari cerita-cerita yang
bisa saya tangkap, diketahui para penduduk
menginginkan adanya legalitas dari sekolah tersebut,
untuk menjamin keberlanjutan sekolah anak-anak mereka.
Namun sebelumnya kami telah mendengar cerita: bahwa
usaha yang dilakukan kawan-kawan dari FORMASI menemui
jalan buntu karena birokrasi yang berbelit-belit, dan
dianggap sengaja dipersulit. Hal ini pula yang
menyebabkan mereka marah dan merobek proposal yang
telah diurus hingga kecamatan  Perbincangan
sudah tidak lagi mengenai anak-anak sekolah, ketika
koordinator SPP datang dan mempermasalahkan perobekan
proposal tersebut. Dan ini saatnya kami keluar dari
ruangan tersebut untuk mencari WC baru yang lebih baik

Setelah tidur dan mandi (di WC terbaik yang kami
temui ). Kami mulai mengatur rencana tentang
apa yang akan kami kerjakan esok hari. Kami diminta
Pak Aripin untuk melakukan pengajaran langsung kepada
anak-anak kelas 1 sampai 3 Madrasah Ibtidaiyyah, dan
akan dicermati oleh guru-guru di sana. Lumayan sulit
dan takut juga . Kami dibagi 3 kelompok. Lili dengan
Dewi: Matematika, Asep dan Aty: Sains, Yuli dan Dani:
Bahasa. Ketika menjelang berbuka puasa, base camp
kami ternyata harus pindah sekitar 1 km ke pedalaman.
Katanya sih untuk lebih enaknya. Dari segi rumah,
memang lebih tidak permanent, namun terasa hangat
karena lantainya terbuat dari kayu. WC ? Ya..
cukuplah. Soalnya sudah terlalu malam untuk protes
 Kami tidur berjajar seperti pindang di suatu
ruangan yang cukup panjang. Cukup cepat kami tidur,
mungkin karena lelah. Celakanya, saya tidak biasa
dengan kondisi yang serba gelap. Alhasil setiap jam
terbangun.

Minggu, 17 Oktober 2004
Pukul 1 dini hari sebagian besar dari kami bangun
untuk melaksanakan sholat malam dan berdo’a semoga
pekerjaan ini berlangsung lancar. Bagi saya ini
sangat mengerikan juga. Terus terang saya merasa diuji
dan tidak percaya diri menjalaninya. Kalau semua
orang bisa tidur lagi setelah sholat subuh, maka saya
memilih berjalan-jalan dipinggir hutan untuk
menenangkan diri dan meyakinkan diri saya bahwa saya
sudah melakukannya hampir 5 tahun.
Jam 6.30 WIB kami dikejutkan oleh tawa sekelompok
anak-anak berseragam putih biru yang datang dari
belokan jalan setapak di pinggir hutan dekat
penginapan kami. Mereka menggunakan seragam lengkap
layaknya mau sekolah. Ini kan hari minggu! Koq mereka
ceria sekali pergi ke sekolah (yang memang tidak
lazim, hari minggu ini mereka diundang oleh kepala
sekolahnya untuk hadir di sekolah). Tak lama muncul
pula beberapa kelompok anak (masih dengan seragam yang
sama) yang kali ini terdengar seperti bernyanyi-nyanyi
kecil. Kami mencoba menegur dan bertanya dari mana
mereka datang. Beberapa dari mereka ternyata berjalan
cukup jauh dan harus berangkat sejak jam 5.30 pagi.
Ada seorang anak di kelompok terakhir yang kemudian
datang menghampiri dan menciumi tangan kami dengan
semangatnya. Wah.. surprise!! Kami merasa terharu
dan sangat bersemangat. Cepat-cepat kami bergantian
mandi dan menyusul mereka ke sekolah. Anak-anak
tersebut ternyata bersekolah di Tsanawiyah. Murid
Tsanawiyah baru sampai kelas 2. Jumlah mereka tidak
lebih dari 40 orang. Hal ini dikarenakan kekhawatiran
orang tua mereka akan keberlangsungan sekolah mereka.
Meskipun kami tidak dijadwalkan untuk mengajar di
Tsanawiyah, namun Asep dan Aty bersedia masuk ke kelas
mereka untuk memberi sedikit “perkenalan” dan
pelajaran yang praktis tentang sains dan matematika.
Sementara itu saya dan teman-teman lain meneruskan
perjalanan menuju MI yang letaknya cukup jauh (menurut
kami..). Sesampainya di sana, ternyata sudah banyak
anak-anak usia SD yang datang. Mereka bilang, mereka
berjalan 2 km jauhnya dari MI. Dan teman-teman mereka
yang letaknya lebih jauh lagi (hampir 5 km) tidak akan
datang karena tidak diberitahu kepala sekolah.
Saya dan Dewi menghadapi anak kelas 1 MI yang
berjumlah 15 anak (seluruhnya 29) Pada awalnya saya
tidak tahu apa yang saya harus katakan. Karena mereka
hampir tidak bisa berbahasa Indonesia, sementara saya
sendiri kurang mahir menggunakan bahasa Sunda.
Anak-anaknya juga terlihat sangat “pendiam” membuat
kami tidak tahu harus bicara apa. Dewi memulai
percakapan, no respon!!
Kami berfikir keras dan berdiskusi singkat untuk
mengetasi masalah ini. Hasilnya kami membagi 2 kelas
menjadi 2 kelompok besar. Kelompok putri dibimbing
Dewi, dan saya membimbing kelompok putra. Benar-benar
tantangan berat! Anak-anak tidak terbiasa dan berani
(?) bersuara ketika guru sedang mengajar, membuat kami
bingung harus mengajar apa. Namun ketika saya
melihat mata mereka yang lugu dan seperti menantikan
sesuatu yang mengasyikan, walaupun terlihat malu-malu
(sampai ada beberapa anak yang berusaha masuk kolong)
membuat saya bersemangatuntuk menggoda mereka dan
mengajari mereka betapa asyiknya mengerjakan LKS
matematika yang saya bawa. Alhamdulillah, usaha saya
tidak sia-sia. Beberapa anak mulai menampakan
ketertarikannya dan mulai berinisiatif menghitung
sebelum saya bertanya. Mereka juga terlihat
betul-betul menyimak apa yang saya katakan. Katanya,
saking semangatnya, suara saya terdengar hingga 1 km
jauhnya (!) Aty dan Asep masuk untuk memperkenalkan
“Tepuk Semangat”, namun saat itu disambut dengan
tatapan heran dan bingung. Gagal !!
Setelah belajar sedikit demi sedikit Cheers Semangat
itu, mulai- lah anak-anak berani bersuara dengan
“sediiikiiit” lantang. Pelajaran diteruskan oleh Aty
dan Asep untuk pengenalan sains. Sains yang diajarkan
adalah sains yang didasarkan pada kondisi lingkungan
sekitar MI. Asep dan Aty menemukan cara pengajaran
bidang miring dan pengenalan tera siring dengan
menggunakan kondisi lahan belakang MI yang curam.
Dengan bahasa sunda yang terpatah-patah (dan nyaris
ngawur) Asep dan Aty mengajak mereka merasakan
asyiknya mempelajari sains dengan permainan. Saat itu
mereka mengajarkan dengan permainan perosotan.
Sementara itu Yuli dan Dani sedang berusaha keras
mengajarkan bahasa Indonesia. Murid kelas 3 lebih
sedikit, sekitar 15 anak yang hadir saat itu (kelas 2
tidak masuk, karena kelasnya dipakai untuk kelas 1.
Jumlah seluruh murid MI adalah 60 anak). Untuk
membuat satu kalimat diperlukan waktu setengah jam (!)
untuk meyakinkan mereka , bahwa mereka bisa. Bahasa
memang benar-benar suatu kendala bagi kami. Namun
seperti kami, Yuli dan Dani tidak patah semangat,
sampai akhirnya mereka bisa mengubah satu anak yang
sangat pendiam dan pemalu, menjadi pemberani dan dapat
mengeluarkan pendapat dengan lantang, dan lebih baik
dari yang lainnya.
Bravo Dani dan Yuli !! Di kelas 1 pelajaran di tutup
dengan mempelajari beberapa lagu dan ketrampilan
tangan, seperti membuat origami burung dan kincir.
Mereka sangat kagum dengan hasil kerja Aty, dan
berebut duduk rapih memperebutkannya. Tak terasa
waktu sudah menunjukan jam 12 siang. Padahal biasanya
anak-anak itu hanya belajar 2 jam saja sehari. Namun
hari ini mereka bertahan 4 jam lebih! Bahkan setelah
dipulangkan, mereka masih berada di lingkungan
sekolah, untuk memperhatikan kami berinteraksi dengan
guru-guru mereka. Melakukan evaluasi dan pembelajaran
dari apa yang telah dilakukan sepanjang hari itu
dengan anak-anak. Meskipun guru-guru yang lebih
muda, lebih banyak berdiam diri (minder?), namun
guru-guru desa yang senior cukup termotivasi dengan
kenyataan bahwa dengan keterbatasan pengetahuan kami
tentang anak-anak dan lingkungan sekitar, juga
kekurangan kami dalam bahasa, tidak memudarkan
semangat kami untuk mengajar kepada anak-anak. Dan
dari sederet pujian dari mereka, mereka berjanji akan
lebih bersemangat dalam mengajar dan memanfaatkan
semua sumber daya yang ada di tempat itu, untuk
dijadikan bahan pelajaran. Guru-guru MI dan MTs memang
semuanya adalah sukarelawan, danterlibat dalam Gerakan
Tani SPP. Mereka terdiri dari mahasiswa (FARMASI dan
FPMR), guru-guru ngaji di dusun tersebut, dan seorang
guru dari sekolah negri. Mereka tidak mendapat
bayaran sepeserpun untuk tugas ini. Untuk latar
belakang pendidikan guru-guru yang berasal dari
penduduk Cieceng ini, ada yang hanya lulusan SD,
Pesantren, bahkan ada pula yang tidak tamat SD (!).
Menurut Aji, mereka memang hanya memiliki sedikit
kemampuan, namun karena kebutuhan dan keinginan keras
mereka agar anak-anak mereka dapat bersekolah-lah,
maka mereka memberanikan diri untuk menjadi guru.
Beberapa pesan dari Pak Aripin yang saya ingat terus
dalam hati adalah bahwa (penafsiran saya..) setiap
guru diciptakan untuk muridnya. Tidak perlu meniru
guru lain dalam mengajar, karena dia dan anak didiknya
adalah unik, tidak sama. Dan guru yang baik adalah
guru yang bisa memahami kondisi anak-anak didiknya dan
mendekatkan mereka dengan alam sekitarnya. Pada saat
itu saya tersadar, bahwa yang menolong saya selama
pembelajaran adalah karena semangat saya, namun dalam
segi content saya telah banyak melakukan kesalahan,
karena memang saya tidak kenal mereka dan
lingkungannya. Saya memperlakukan mereka seperti saya
memperlakukan murid-murid saya di SD Hikmah Teladan
Cimindi dengan kondisi dan lingkungan yang sangat
berbeda. Namun saya juga sangat terharu, bahwa
keberadaan saya sebagai seorang guru tidak sia-sia.
Saya merasa sangat dihargai dan semakin bersemangat
untuk menularkan semangat mengajar kepada rekan-rekan
lainnya, dimanapun mereka berada. Lepas dari
pertemuan itu pukul 1 siang, kami kembali ke rumah
peristirahatan untuk sholat dan bersiap untuk pulang.
Namun alangkah kagetnya kami, ternyata kepulangan kami
ada kemungkinan diundur hingga malam hari. Bagaimana
ini? Di dalam hati kami ada beban moral bahwa besok
kami harus mengajar di Cimindi. Padahal jarak yang
harus ditempuh sangat jauh. Tiba-tiba saja kami
merasa letih, terlebih membayangkan jalan panjang yang
ditempuh, dan (mungkin) sikap yang akan kami hadapi
dari pihak sekolah (untung kepseknya ada diantara kami
) jika kami datang terlambat (seperti
beberapa bulan yang lalu saat ke MI Pasawahan, Ciamis)
dan bahkan mungkin tidak hadir. Kami mulai pasrah
dan dan saling berjanji untuk menguatkan satu dengan
yang lain. Di saat kami semua terbaring, dan mencoba
untuk beristirahat.. pertolongan Allah datang dengan
adanya kabar bahwa ada truk yang mau mengantarkan kami
setengah jalan. Tadinya dia akan mengangkut kayu ke
kota, dan kondisi mobilnya tidak akan layak untuk kami
tumpangi dengan kondisi jalan seperti itu. Namun
agaknya mereka berubah fikiran dan bersedia
mengantarkan kami terlebih dahulu sebelum mereka
mengangkut kayu. Jadilah kami pergi meninggalkan
dusun Cieceng dengan lambaian tangan semua orang..
pada jam 2 siang. Kami mendapat 3 dus oleh-oleh yang
cukup berat (ada cerita yang cukup unik tentang
oleh-oleh ini. Sebelum pulang kami ditanya oleh Aji,
tentang oleh-oleh apa yang bersedia kami baw).
Berdasarkan pengalaman kami di daerah
Pesawahan-Banjarsari, oleh-oleh dari kampung itu
sangat merepotkan. Dan kami cukup mendapat trauma
untuk itu. Akhirnya dengan berat hati, menyambut
keinginan warga untuk memberi oleh-oleh dan mengingat
dalam tim kami terdapat 4 laki-laki yang bisa
diandalkan. Akhirnya kami setuju membawa cangkaleng
(kolang-kaling), gula merah dan daun sampeu!)
Menikmati perjalanan yang sangat menyakitkan, dan juga
menikmati pemandangan gersang dengan hati riang,
karena kapan lagi kami akan sampai ke sana. Kami
diturunkan di dipertigaan Salopa pada jam 15.30, untuk
meneruskan perjalanan ke kota Tasik, kami meneruskan
perjalanan dengan menggunakan bis umum. Cukup lama
kami menunggu bis yang bisa mengangkut kami. Namun
dasar harus betul-betul menikmati perjalanan, di
daerah yang gelap dan tidak berpenduduk, bis kami
mengalami gangguan dan harus istirahat lebih dari ½
jam. Di suatu pom bensin kembali bis berhenti untuk
mempersilahkan penumpang (atau supir ?) berbuka puasa.
Sampai di kota Tasik pukul 7 malam. Sebelum pulang
ke Bandung, kami harus menjemput anak dan istri Pak
Aripin terlebih dahulu. Sebagian teman
memanfaatkannya untuk mandi sebelum meneruskan
perjalanan. Kami meninggalkan rumah pukul 21.30 malam
dan dengan menumpang elf yang mau mengantar kami
hingga Cimindi, maka pulanglah kami dengan badan yang
sangat letih. Kebetulan elf yang kami tumpangi
melewati jalan rumah saya. Saya pun turun dan sampai
di rumah tepat pukul 00.30 dini hari.

Inilah pengalaman saya ikut dalam perjalanan ke
Cieceng-Salopa Tasikmalaya.


Beberapa kesan teman-teman saya:

Dewi Komariah
Perjalanan yang melelahkan namun sarat dengan hikmah.
Lelah fisik karena medan yang berat. Lelah jiwa
karena gelisah, khawatir tidak bisa memberikan yang
terbaik. Melihat betapa besar harapan mereka kepada
kami. Kebersamaan membuatku merasa punya keyakinan
bahwa kami bisa mengatasinya. Berpegangan tangan,
bahu membahu, saling menguatkan, itu yang kami lakukan
untuk meyakinkan diri bahwa kami bisa memberikan
sesuat untuk orang lain. Bahagia hati melihat respon
positif mereka. Lega ketika aku bisa mengatakan:
tidak perlu harus sama dan menganggap kami lebih baik,
karena masing-masing kita punya potensi yang berbeda
yang bisa sama-sama kita kembangkan. Kita bisa
belajar bersama-sama untuk mewujudkan cita-cita luhur,
memberikan yang terbaik untuk anak-anak kita.

Asep
Pengalaman yang luar biasa ada suka, canda dan tawa
mulai dari persiapan sampaikeberangkatan. Begitu tiba
di lokasi suasana berubah haru dan bingung melihat
kondisi yang ada. Semua idealisme kami luntir. Namun
kami tetap pada misi yang akan dijalankan.
Petualangan kami dimulai dari survey sumber daya alam
dan sumber daya manusia. Saya kagum dengan gairah
masyarakat pada pendidikan karenasemuanya mendukung.
Guru yang harus rela berjalan 2 km pada medan yang
parah. Luar biasa semangat mereka, menginspirasi
kami. Kami, mulai masuk dengan semangat tinggi. Namun
kami dapat masalah baru, siswa yang apatis memenuhi
kelas. Kami coba ajari mereka tersenyum, belajar
gembira lewat permainan. Kami semangati dengan jargon
dan yel-yel. Walau sulit mereka akhirnya mau juga
walaupun malu-malu. Yang membuat kami bangga, kami
bisa merubah karakter anak yang asalnya tidak PD,
menjadi berani mengaktualisasikan diri. Kami disana 2
hari, rasanya cukup untuk membawa perubahan. Padahal
banyak yang harus dibenahi, terutama pendidikan anak.
Walaupun waktu berjalan lambat tapi ada yang membuat
kami ingin tinggal lebih lama, yaitu naluri guru.
Cieceng itulah nama desanya. Tempat yang men-charger
semangat juang kami.

Tidak ada komentar:

Page Rank Check,
HTML Web Counter